Sisi Baku Dalam "Ketidakbakuan" Sistem Khilafah


Tidak menarik mengikuti diskusi tentang “kebakuan sistem khilafah” antara Prof. Mahfud MD (MMD) dengan KH. Shiddiq al Jawi , baru membahas istilah “sistem baku”, diskusi sudah berhenti.
Sejak awal, saya sudah menduga arah dari pernyataan Pak MMD dalam cuitannya: “Sy bilang, ayo siapa yg bs tunjukkan sistem khilafah yg baku saya akan jd pengikutnya. Tapi tdk pernah ada, tuh.”. Saya menduga alur berfikir pak MMD adalah sbb:
  1. ada ikhtilaf dalam (cabang-cabang) sistem khilafah,
  2. karena ada ikhtilaf maka tidak baku,
  3. dan karena tidak baku maka bebas dan boleh beda-beda, mau republik, kerajaan, monarki, maupun kekaisaran, semua bebas.
  4. karena itu tidak wajib menegakkan sistem khilafah dg satu bentuk tertentu.
Dan dugaan saya ini sepertinya benar, terbukti dengan tanggapan beliau di bagian bawah.
Tulisan ini hanya ingin mengoreksi alur berfikir tersebut, karena alur berpikir tersebut sangat berbahaya jika diberlakukan ke bidang-bidang yang lain, semisal:
1) Ada ikhtilaf dalam masalah pelaksanaan shalat
2) Karena ada ikhtilaf, maka tidak baku
3) Karena tidak baku, maka terserah saja cara orang shalat, boleh bahasa Indonesia, Arab, Sunda dll.
4) Karena itu tidak wajib shalat dengan satu bentuk tertentu.
Saya yakin, terkait shalat, alur pemikiran pak MMD tidak demikian, hanya saja yang namanya alur berpikir, lambat laun akan meracuni generasi yang akan datang hingga bisa berkesimpulan demikian, karena murid kadang kesimpulannya lebih ganas dari guru. Prof. Nashr Hamid Abu Zaid, yang dipecat al Azhar hanya menyatakan bahwa ‘al Qur’an adalah produk budaya’, namun murid-muridnya yang menimba ilmu ke dia sampai bisa mengatakan “al Qur’an bukan Kalamullah, yang Kalamullah itu yang masih ‘di langit’, bukan yang berbahasa Arab itu’
Dan alur berpikir ini juga bisa diterapkan terkait negeri ini:
1) Ada ikhtilaf (beda pendapat) tentang sistem NKRI, bahkan pernah pakai RIS, Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Nasakom, dll, bahkan tidak ada dalil primernya, juga ‘sekundernya’.
2) Karena ada ikhtilaf, maka tidak baku (tidak baku kok di ‘harga mati kan” J)
3) Karena tidak baku maka terserah saja, boleh beda-beda, dan boleh berubah sesuai keinginan masyarakat (lho kok khilafah dilarang, walau sebatas ide ?)
4) Karena itu tidak wajib menegakkan NKRI dengan satu bentuk seperti sekarang ini saja.
Mau kesimpulan begini? Orang yang nalarnya waras, jika menerapkan alur berpikir yang sama, tentu bisa berkesimpulan yang sama, jika tidak memperhatikan hal-hal yang lain.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan, agar alur berpikir yang di awal tidak sampai pada kesimpulan liar bahwa “tidak wajib menegakkan sitem khilafah tertentu”. Dengan meminjam istilah Pak Prof. Mahmud MD, dua hal tsb yakni 1) Sisi Baku dalam “Ketidakbakuan” Sistem Khilafah dan 2) Kebakuan Dalam “Ketidakbakuan” Sistem Khilafah. (Sebetulnya ungkapan ini tidak ada dalam kitab Hizbut Tahrir, apalagi kitab Ta’limul Muta’allim, saya hanya mencoba menyelami gaya dan ungkapan pak MMD saja)

Sisi Baku Dalam “Ketidakbakuan” Sistem Khilafah

Kalau diakui sesuatu itu bentuknya ‘tidak baku’ itu bukan berarti bentuk sesuatu itu bebas sama sekali. Amuba misalnya, bentuknya “tidak baku”, namun bukan berarti boleh dikatakan bahwa amuba bisa berbentuk apa saja, tidaklah amuba bisa membentuk jadi kodok yang bisa melompat. (jangan gagal fokus dg menyamakan khilafah dengan amuba 🙂
Adanya ikhtilaf dalam sistem Khilafah tidaklah kemudian menjadikan khilafah itu tanpa bentuk, hingga boleh berbentuk apa saja. Diantara sisi baku sistem khilafah yang menjadikannya tidak bebas bentuk adalah bahwa khilafah itu ditegakkan dalam rangka menerapkan syari’ah, dengan kata lain dalam sistem khilafah “kedaulatan (hak menentukan hukum) hanya milik Pembuat Syari’at, yakni Allah SWT”, sistem apapun yang mengingkari hal ini, jelas bukan sistem khilafah.
Ketika hukum syari’ah ada yang baku, tidak berubah mengikuti perubahan waktu dan tempat, demikian pula  dengan sistem khilafah, ada sisi-sisi baku yang tidak berubah.
Oleh karena itu bentuk baku sistem khilafah dibangun dan ditentukan Allah SWT, yang tercermin dalam hukum-hukum syara’ yang baku (qath’iy) terkait pemerintahan, ekonomi, politik, pergaulan, sosial, militer, keuangan, dan juga hubungan luar negeri. Bagaimanapun juga nama sistem tersebut[1], jika ‘isinya’ adalah hukum-hukum syara’ tersebut, maka itulah hakikatnya sistem khilafah itu. (Baca penjelasan Imam al Mawardi (w. 450 H) tentang khilafah berikut: Pentingnya Khalifah dan Tanggungjawabnya)
Walaupun khilafah tidak wajib disebut khilafah, boleh disebut imamah al udzma, boleh juga disebut ‘imaratul mukminin, ini memang tidak baku, namun yang baku adalah bahwa yang diterapkan adalah hukum-hukum syari’ah. Sistem khilafah ada  ketika sistem hukum syari’ah ada, dan hilang ketika sistem hukum syari’ah hilang.
Oleh karena itulah, Khalifah Abu Bakar as Shiddiq r.a mempertaruhkan negara, bahkan nyawanya, demi menjaga kedaulatan hukum syara’ ini. Negara boleh lenyap, nyawa boleh melayang, namun hukum syara’ tidak boleh ‘dimutilasi’ seenaknya. Pada saat yang sulit, karena menghadapi serangan orang-orang murtad, ada sebagian kabilah yang mau mengingkari kewajiban zakat, terhadap mereka dengan tegas Abu Bakar r.a berkata:

لو منعوني عِقالا لجاهدتهم عليه

“Kalau mereka menghalangiku dari (mengambil) zakat, sungguh kuperangi mereka”
Mendengar hal tersebut, Umar r.a berkata:

يا خليفة رسول الله – صلى الله عليه وسلم – تَألَّف الناس وارفُقْ بهم

“wahai khalifahnya Rasulullah, bersikap lembutlah kepada manusia”
Dalam perhitungan militer, saat orang-orang murtad menyerang Madinah, kalau orang yang tidak mau membayar zakat dibiarkan saja, tentu ‘akan mengurangi musuh’, yang dihadapi tinggal musuh yang benar menyerang Madinah. Namun Abu Bakar r.a lebih mengutamakan tegaknya hukum Syara’ daripada negara, bahkan nyawanya!, beliau berkata:

أجبّار في الجاهلية وخوّار في الإسلام ؟ إنه قد انقطع الوحيُ وتم الدين أينقص وأنا حي ؟

“apakah engkau keras semasa jahiliyah, dan lemah dalam Islam (wahai ‘Umar)? Sesungguhnya wahyu telah terputus, dan agama ini telah sempurna, apakah agama ini akan berkurang (padahal) aku masih hidup?” (Mirqâtul Mafâtîh, 9/3890)
Inilah hal yang baku dalam khilafah, satu hukum syara’ yang dalilnya qath’i, akan dipertahankannya dengan taruhan nyawa penguasa sekalipun, apalagi banyak hukum.
Haramnya riba, zina, khamr, liwath (homoseksual), wajibnya shalat, zakat, puasa, haji, wajibnya penegakan hudud, jinayat, adanya hukum-hukum tentang hudnah, hukum-hukum tentang tanah kharajiyyah dan usyriyyah, ahwal as syakhsiyyah, nikah, talak, hadhonah, dan masih banyak hukum-hukum syara’ yang lain, hukum-hukum yang tidak diperselisihkan dalam hal tersebutlah yang menjadi sisi baku dalam ‘ketidakbakuan’ sistem khilafah versi MMD. Kalau mau membahas lebih lanjut, berarti harus membahas hukum-hukum syara terkait hal tersebut (ekonomi, pemerintahan, sosial, pergaulan, pidana, hubungan luar negeri, pendidikan, dll).
Yang aneh, Pak MMD juga melontarkan istilah ‘khilafah Pancasila’ , apakah memang se’tidak baku’ itukah khilafah dalam pandangan beliau, hingga negeri yang tidak mengurus zakat dengan benar, membiarkan zina, melindungi LGBT, membiarkan riba, dan miras, bahkan negeri yang alergi dengan khilafah, bahkan sistem yang dulu pernah beliau sebut “’malaikat’ masuk ke sistem Indonesiapun bisa jadi ‘iblis’”, apakah sistem begini layak beliau sebut khilafah, jauhh…jauhh sekali.
Memang iya, dalam rincian hukum tersebut ada –namun tidak semua- ikhtilaf, dan terkait hal itu, perlu penjelasan berikut:

Kebakuan Dalam “Ketidakbakuan”

Dalam hukum syari’at, adanya ikhtilaf dalam satu masalah – kalau ikhtilaf ini dianggap ketidakbakuan- tidak kemudian berarti boleh semaunya, ada kebakuan dalam “ketidakbakuan” tsb, yakni ‘ketidakbakuan’ tsb hanya terbatas pada ikhtilaf yang terjadi, tidak semaunya. (kalau mumet dg istilah ini, memang sejak awal munculnya istilah sudah mumet sendiri, kalau tidak diikuti mumetnya, itu namanya mikirnya ‘dangkal’ 🙂 ).
‘Ketidakbakuan’ konsep aurat misalnya, hanya terbatas pada apakah wajah itu aurat atau tidak, tidak meluas menjadi dada itu aurat atau bukan, perut dan kebawahnya itu aurat atau bukan dll, ini sudah baku.
‘Ketidakbakuan’ dalam proses pemilihan khalifah, apakah lewat musyawarah terbatas ahlul halli wal aqdi, lewat pemilu, atau formatur, memang itu bebas, namun bahwasanya calon yang dipilih itu wajib muslim dan terpenuhi syarat-syarat in’iqad (syarat pengangkatan) lainnya, dan ketika terpilih dia dibaiat oleh umat Islam untuk menjalankan syari’ah, ini sudah baku.
Tentang syarat in’iqad khalifah memang ada ikhtilaf, namun bahwa ia harus muslim itu baku.
Bentuk pemilihan itu bisa beda-beda, namun bahwa tidak boleh memaksa rakyat untuk mengangkat seorang calon menjadi khalifah itu baku.
Begitulah seterusnya, ada hal-hal yang disepakati yang akan menjadikan bentuk khilafah itu menjadi ‘baku’, dan dalam cabang-cabang yang diperselisihkanpun tetap saja ada hal-hal yang disepakati, sehingga jadi ‘baku’ pula. Dan ini tidak akan clear jika hanya berkutat pada istilah khilafah, tanpa melihat ‘isi’nya, karena yang diperhatikan sebenarnya adalah makna, bukan sekedar nama, walaupun tetap saja tidak boleh memberikan sembarang nama. Allaahu A’lam.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sisi Baku Dalam "Ketidakbakuan" Sistem Khilafah"

Post a Comment