Antara Pedang dan Amanah: Menakar Peran Militer dalam Pemerintahan Islam_
π Antara Pedang dan Amanah: Menakar Peran Militer dalam Pemerintahan Islam
Mengapa militer tidak boleh mendominasi pemerintahan dalam Islam?
Karena kekuasaan dalam Islam adalah amanah, bukan arena komando.
Ada garis tegas antara yang memimpin dan yang menjalankan kekuatan.
Islam memiliki panduan jelas soal relasi sipil dan militer dalam Negara Khilafah.
π§΅ Mari kita bahas.
Dalam Islam, politik adalah ri’ayah syu’un al-ummah—pengurusan urusan umat, bukan sekadar perebutan kekuasaan.
Negara Khilafah menjalankan tugas ini.
Umat mengawasi, dan para hukkΓ’m (penguasa) bertanggung jawab menjalankannya.
Bukan militer.
Militer = alat kekuatan negara
HukkΓ’m = pemegang amanah dan pengambil keputusan
Ketika alat kekuatan berubah jadi pemegang kekuasaan, muncul lima bahaya besar.
Apa saja?
Bahaya Pertama:
Militer terbiasa dengan pendekatan komando dan kekuatan.
Jika pendekatan ini digunakan untuk mengelola urusan rakyat, hasilnya bukan kesejahteraan—melainkan represi dan ketakutan.
Bahaya Kedua:
Sejarah mencatat: saat militer dominan, negara cenderung menjadi tirani.
Rakyat dibungkam.
Proses politik dikendalikan.
Kesejahteraan terabaikan.
Negara berubah menjadi rezim otoriter.
Bahaya Ketiga:
Militer bisa mendikte arah politik luar negeri.
Akibatnya? Dakwah global tersendat.
Futuhat terhenti.
Umat kehilangan arah perjuangan.
Ini pernah terjadi di akhir masa Daulah Abbasiyah dan Utsmaniyah.
Bahaya Keempat:
Militer tergoda melakukan kudeta.
Karena merasa punya kekuatan, mereka menyingkirkan pemimpin sah.
Inilah salah satu penyebab keruntuhan sistem Khilafah di masa lalu.
Bahaya Kelima:
Ketika militer disusupi paham asing, keruntuhan bisa datang dari dalam.
Seperti menjelang jatuhnya Daulah Utsmaniyah.
Identitas umat diluluhlantakkan.
Kedaulatan Islam diruntuhkan.
Lalu, bagaimana Islam mengatur posisi militer?
✅ Di bawah kendali Khalifah
✅ Fokus pada pertahanan luar dan jihad
✅ Tidak termasuk dalam jajaran penguasa (hukkΓ’m)
Mereka patuh pada perintah, bukan menjadi penentu arah politik.
Politik luar negeri dalam Khilafah tidak bersandar pada kekuatan militer semata, melainkan:
• Kekuatan ruhiyah
• Strategi politik
• Dukungan opini umat
Militer baru dikerahkan saat semua jalan dakwah ditutup rapat.
Bagaimana dengan keamanan dalam negeri?
Itu tugas polisi (syurthah), bukan tentara.
Jika militer turun tangan, harus atas perintah Khalifah.
Tidak boleh bergerak atas inisiatif sendiri—apalagi menguasai pemerintahan.
Peran militer dalam Khilafah sangat vital:
• Menjaga perbatasan (ribath)
• Membebaskan wilayah kaum Muslimin
• Melindungi umat dari ancaman luar
Namun tetap, mereka bukan pemegang kendali pemerintahan.
Kesimpulannya:
Militer dalam Islam adalah alat kekuatan, bukan pemilik kekuasaan.
Jika garis ini dilanggar, maka negara akan merosot—dan umat ikut binasa secara perlahan.
Relasi sipil-militer harus dijaga dalam sistem Islam.
Jika engkau seorang militer, engkau memegang pedang.
Jika engkau seorang pemimpin, engkau memegang amanah.
Keduanya harus bersinergi, bukan saling merebut peran.
⚖️ Setujukah kamu bahwa amanah kepemimpinan harus tetap berada di tangan yang mengurus umat, bukan yang menguasai senjata?
Sumber : https://alwaie.net/
0 Response to "Antara Pedang dan Amanah: Menakar Peran Militer dalam Pemerintahan Islam_"
Post a Comment