Upaya Merintangi Tegaknya Daulah Islam

Sejak kafir penjajah menduduki negeri-negeri kaum Muslim, mereka memantapkan kekuasaannya dengan mengokohkan sistem hukum berdasarkan rumusan mereka. Tujuannya satu: menghalangi sekaligus merintangi setiap upaya dari sebagian maupun keseluruhan dari kaum Muslim untuk kembali menegakkan Daaulah Khilafah Islamiyah.


Di antara upaya yang dilakukannya adalah: Pertama, mengokohkan pemerintahan sekular, dengan mendirikan pemerintahan kolonial di sebagian negeri dan menggunakan nama kemerdekaan penuh di negeri lainnya.
Kedua, menangkap para aktivis penegak Daulah dan menyusupi gerakan-gerakannya agar melenceng dari tujuan awalnya. Sebagai misal, pada pertengahan tahun 1924 M, tatkala Hussain bin Ali hendak keluar dari Hijaz, dia ditahan di Tripoli karena merupakan aktivis yang sangat menginginkan kembalinya Kekhilafahan. Pada tahun itu pula, melalui kaki tangannya, Inggris menyusup ke dalam pertemuan Muktamar Khilafah yang diadakan di Kairo. Mereka berusaha memecah-belah dan menghancurkannya. Pada tahun yang sama, Inggris juga bekerja keras untuk menghapus Jam’iyyah Khilafah(komite yang memperjuangkan Khilafah) di India, membatalkan usaha-usahanya, dan mengubah serta mengalihkan arah perjuangannya ke paham nasionalisme dan kebangsaan. Di Mesir, pada tahun yang sama diterbitkan sejumlah karangan dari sejumlah ulama al-Azhar yang dipengaruhi kafir penjajah. Isinya mengajak umat untuk memisahkan agama dengan negara serta menyerukan bahwa di dalam Islam tidak ada dasar-dasar pemerintahan dan menggambarkan Islam sebagai agama kependetaan. Dikatakan pula bahwa dalam Islam tidak sedikit pun ditemukan konsep tentang pemerintahan dan negara. Pada tahun itu dan tahun-tahun berikutnya, di negeri-negeri Arab terjadi perdebatan-perdebatan seputar dua tema: apakah gerakan Pan Arabisme lebih patut dan lebih banyak memberi kemungkinan ataukah Pan Islamisme. Berbagai surat kabar dan majalah sibuk memperbincangkan tema-tema itu, padahal kedua-duanya, apakah Pan Arabisme atau Pan Islamisme, sama-sama tidak sesuai dengan Islam. Esensi gerakannya hanya berusaha mengadakan perubahan tanpa mendirikan Daulah Islam. Akan tetapi, bagi kafir penjajah, perdebatan ini mengandung kepentingan lain, yaitu untuk mengalihkan opini umat dari Daulah Islam. Dengan diskusi-diskusi ini, mereka mampu menjauhkan umat dari opini tentang Khilafah dan Daulah Islam.
Ketiga, menghembuskan slogan-slogan sesat pemecah persatuan umat. Kaum kafir imperialis telah mempropagandakan idiom-idiom nasionalisme. Secara agitatif dipropagandakan bahwa Turki memikul beban berat bangsa-bangsa yang bukan bangsa Turki. Turki harus membebaskan diri dari bangsa-bangsa selain Turki. Turki harus menyusun partai-partai politik yang bekerja untuk mewujudkan nasionalisme Turki dan membebaskan Turki dari negeri-negeri selain Turki. Begitu juga di kalangan para pemuda Arab. Slogan-slogan nasionalisme Arab disebarluaskan oleh kafir penjajah, seperti, “Turki negara penjajah”, “Sekaranglah saatnya bagi bangsa Arab untuk membebaskan diri dari penjajahan Turki”, dll. Kemudian dengan slogan-slogan itu mereka membentuk partai-partai politik yang bekerja untuk mewujudkan persatuan Arab dan membebaskan Arab.
Mereka juga menyebarkan pemahaman-pemahaman yang menyesatkan tentang pemerintahan dalam Islam, tentang Islam sendiri, dan gambaran khalifah, yang dinyatakan sebagai jabatan kepausan dan bentuk pengejawantahan dari pemerintahan agama yang bersifat kependetaan (teokrasi). Dengan begitu, kaum Muslim sendiri akhirnya merasa malu menyebut kata khalifah, juga orang yang menuntut Kekhilafahan. Di tengah-tengah kaum Muslim juga sering dijumpai pemahaman umum, yang menyatakan bahwa persoalan Kekhilafahan adalah perkara kuno, terbelakang, dan jumud, yang tidak mungkin keluar dari orang yang berbudaya dan tidak mungkin pula dikatakan oleh pemikir.
Keempat, menjaga sistem sekular sekuat tenaga. Setiap upaya mengubah sistem yang berlaku dianggap sebagai gerakan yang inkonstitusional. Gerakan ini akan dikenai sanksi keras oleh undang-undang penjajah yang dijalankan para penguasa. Kafir penjajah menerapkan undang-undang Barat di negeri kaum Muslim melalui antek-anteknya. Seluruh perundang-undangan bahkan sampai UUD di negeri-negeri Islam secara penuh diadopsi dari perundang-undangan Prancis dan Eropa lainnya. Selain itu, ditempatkan orang-orang yang memang ditugaskan secara khusus agar undang-undang yang telah dibuat ‘tidak bisa’ diubah oleh siapapun.
Kelima, makin memantapkan pilar-pilar dan penegakan semua perkara berlandaskan politik pengajaran yang dibakukan, di samping kurikulum pendidikan kafir penjajah, yang hingga saat ini masih diterapkan di seluruh negeri-negeri Islam. Prestasi ini sudah barang tentu menghasilkan “pasukan besar” para pengajar, yang sebagian besarnya menjaga dan melestarikan metodologi ini; juga melahirkan orang-orang yang sebagian besar memegang jabatan penting yang berkaitan dengan pengaturan urusan kehidupan. Mereka berjalan sesuai dengan kehendak kafir penjajah.
Politik pengajaran dibangun dan disusun berdasarkan dua dasar:
(1)      Sekularisme, dan
(2)      Kepribadian kafir penjajah dijadikan sumber pembinaan.
Keenam, membentuk undang-undang yang mampu menjaga dan mengamankan pelaksanaan metodologi tersebut. Undang-undang itu menetapkan berbagai aturan yang melarang pembentukan partai-partai politik atau gerakan-gerakan politik yang bernafaskan Islam. Undang-undang itu mencap kaum Muslim yang bergabung dalam partai-partai Islam sebagai radikal dan ekstrem. Undang-undang itu menetapkan berbagai aturan yang mengharuskan partai-partai dan gerakan-gerakan politik mengandung sistem dan aturan demokrasi. Artinya, undang-undang tidak membolehkan di negeri-negeri Islam berdiri partai-partai atau gerakan-gerakan politik yang bernafaskan Islam supaya Daulah Islam tidak kembali lagi. Mereka dilarang melakukan aktivitas politik yang berlandaskan Islam. Sebagian undang-undang bahkan mencap kriminal mereka yang berusaha mendirikan partai politik.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Upaya Merintangi Tegaknya Daulah Islam"

Post a Comment