DIBALIK DIBEBASKANNYA USTADZ ABU BAKAR BA'ASYIR (Sebuah Pertanda Tak Sekedar Soal Pilpres, Tapi Soal Sistem)


Oleh : Nazril Firaz Al-Farizi

Penasaran kenapa judulnya seperti itu?

Memang kebanyakan pasti akan mudah tertebak bahwa pembebasan Ust.Ba'asyir bersangkutan dengan Pilpres 2019, dimana pada hari Jumat (18/01) Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf bersama Tim Pembela Muslim (TPM), Mahendrata telah membawa keluar Ust.Ba'asyir dari Lapas Gunung Sindur, Kab.Bogor.

Ya betul, bahkan bagi orang biasa yang waras (non-dungu) saja sudah mudah menebak pembebasan itu adalah bentuk pencitraan rezim, tidak perlu pengamat atau analis. Hal lainnya pun sebagai bentuk mempertegas dirinya adalah bukan Anti-Islam serta sebagai bukti bahwa tuduhan-tuduhan seperti kriminalisasi ulama, persekusi ulama, dan seputarnya dari oposisi kepada rezim terbantahkan dengan dibebaskannya Ust.Ba'asyir keluar dari penjara.

Hal itu masih satu trek dalam menciptakan citra dirinya pro Islam setelah sebelumnya menggaet MA sebagai cawapres, itupun sebetulnya atas tekanan MA sendiri yang mengancam akan undur diri dari dukungan kepada rezim jika cawapres tidak dari kader NU ketika rapat mendadak pada Rabu tanggal 8 Agustus 2018 di kantor pusat PBNU, sehingga akhirnya terpilihlah MA sebagai cawapres ketika deklarasi pada Kamis tanggal 9 Agustus 2018.

Maka mulai dari itulah rezim memanfaatkan situasi itu untuk membangun dirinya pro Islam, kemudian hal lainnya rezim perlihatkan dengan tindakan terbarunya yaitu membebaskan Ust.Ba'asyir pada Jumat (18/01) kemarin untuk menambah peningkatan citra dirinya pro Islam, dan sebetulnya bukan hanya soal itu saja, bukan hanya sekedar menyoal untuk meningkatkan citra dirinya pro Islam, tetapi ada 2 hal yang mana itu adalah sesuatu yang buruk bagi rezim itu sendiri. Apa itu?

Pertama :

Dialah mantan Dirut Bank Century Robert Tantular yang telah dibebaskan atas 4 kasus korupsinya, dimana dia sendiri telah dipenjara sejak 2008 yang seharusnya dipenjara selama 21 tahun dengan rincian kasus pertama, vonis 9 tahun denda Rp100 miliar subsider 8 bulan kurungan. Kasus kedua, vonis 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar subsider 6 bulan kurungan. Kasus ketiga dan keempat masing-masing divonis 1 tahun penjara serta denda Rp2,5 miliar subsider 3 bulan kurungan.

Napi manapun akan bisa mengajukan Pembebasan Bersyarat (PB) jika minimal masa tahanan yang sudah dijalani adalah 2/3 (75%) dari total vonis yang sudah ditetapkan hakim terhadap napi tersebut. Tetapi yang terjadi pada Robert Tantular malah sudah mendapatkan hak bebas bersyarat yang malah diajukan oleh Lapas Cipinang bernomor W10.Pas.01.05.06-540 pada tanggal 5 Mei 2017, dan pembebasan bersyarat itu dimulai tanggal 18 Mei 2018.

Bayangkan saja, Robert pun belum 2/3 dalam menjalani kurungan, tetapi baru 1/2 (50%) yaitu 10 tahun dari 21 tahun, artinya baru setengahnya menjalani kurungan penjara tetapi sudah diberi pembebasan bersyarat sehingga akhirnya Robert pun bebas pada tanggal 21 Desember 2018 lalu. Maka KPK pun mempertanyakan hal itu, karena ternyata Robert telah diberi remisi dengan total 74 bulan, 110 hari atau sekitar 77 bulan, artinya total masa kurungan 21 tahun itu dipotong 77 bulan atau 252-77 = 175 bulan (14 tahun 7 bulan). Maka jika 2/3 itu dipatok dari 14 tahun 7 bulan, maka memang Robert sudah 2/3 menjalani masa kurungan.

Olehkarena itu KPK pun menyayangkan pemberian remisi yang begitu longgar dan besar kepada kasus terpidana korupsi, dimana seolah percuma saja divonis hakim dengan kurungan lama, tetapi remisi pun banyak diberi, maka ujung-ujungnya hanya dipenjara dalam waktu singkat.

Kedua :

Ada kesengajaan mengapa Ust.Ba'asyir dibebaskan pada Jumat (18/01) kemarin. Bukan hanya sekedar soal meningkatkan citra rezim agar pro Islam dan pro ulama, tetapi menutupi keburukan rezim atas dibebaskannya Robert Tantular yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat karena kurang diangkat ke permukaan oleh media. Selain itu ada 1 hal keburukan lagi yang akan dilakukan rezim, apa?

Yaitu masa kurungan Ahok sebagai terpidana kasus penistaan agama segera berakhir pada Kamis tanggal 24 Januari 2019, artinya minggu depan Ahok pun akan dinyatakan bebas murni dan akan aktif kembali dalam kehidupan bebas sehari-harinya, karena Ahok hanya divonis 2 tahun penjara pada Selasa, 9 Mei 2017. Maka seharusnya dibebaskan pun tepat 2 tahun, tetapi karena ada remisi ini dan itu, maka 24 Januari 2019 pun sudah bebas.

Jadi 2 hal itulah merupakan hal buruk yang ditutupi rezim dengan dibebaskannya Ust.Ba'asyir agar masyarakat menganggap rezim adalah pro Islam dan pro ulama sehingga elektabilitasnya pun meningkat untuk kepentingan Pilpres 2019 pada 17 April nanti. Maka berita pembebasan Ust.Ba'asyir ini pun begitu menjulang tinggi, ditambah ada tindakan spesial di dalamnya yang jelas berbeda dari yang lain, apa itu?

Ya tentu kehadiran Yusril Ihza Mahendra itu sendiri sebagai kuasa hukum tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf, dan serta hadirnya Afriansyah Noor sebagai Sekjen PBB. Tetapi untuk hadirnya Sekjen PBB ini memang rancu dan kontradiktif, kenapa?

Karena disisi lain PBB sendiri hingga saat ini belum berhaluan kepada koalisi manapun, ditambah banyak anggotanya yang tidak setuju dengan tindakan Yusril yang sudah menjadi kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf, maka itu pertanda PBB kalangan bawah dan tingkat daerah menolak, meski Yusril mempertegas bahwa dia di tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf hanya sebagai profesional Pengacara, bukan sebagai Ketua Umum PBB. Maka mungkin bisa jadi hadirnya Afriansyah Noor sebagai Sekjen PBB adalah untuk kepentingan partai saja, yaitu perduli terhadap ulama, dalam rangka meningkatkan elektabilitas partai saja, karena diluar alasan itu, sebetulnya PBB tidak ada hubungan kepentingan dengan pembebasan Ust.Ba'asyir meski jika disambungkan dengan jasa Yusril yang telah berusaha mengajukan pembebasan Ust.Ba'asyir sejak Desember 2018, tetapi posisi Yusril saat Desember pun tetap menamakan dirinya adalah Profesional Pengacara Jokowi-Ma'ruf, bukan Ketua Umum PBB.

Pertanda Sistem Semakin Cepat Berganti

Mengapa pada sub judul ini diberi nama seperti itu?

Ya, karena hal itu masih bersangkutan dengan Ust.Ba'asyir sendiri, dimana seharusnya beliau berbas bersyarat itu pada Minggu, 23 Desember 2018, maka beliau sebetulnya bisa memilih opsi bebas bersyarat, tetapi beliau menolak. Mengapa beliau menolak? Karena pada surat-surat pembebasan bersyarat itu berisi bahwa beliau harus patuh dan setia terhadap Pancasila dan NKRI yang harus ditandatangani.

Ust.Ba'asyir begitu lantang dan kokoh terhadap pendiriannya bahwa Pancasila dan NKRI itu adalah thagut, ditambah lagi beliau menyatakan bahwa Demokrasi itu adalah kufur. Hal ini dipertegas oleh Yusril Ihza Mahendra dari hasil perbincangannya dengan Ust.Ba'asyir sesaat sebelum dibebaskan, maka akhirnya Ust.Ba'asyir dibebaskan tanpa syarat-syarat apapun.

Saat ini kita masih memiliki ulama yang sangat berani memegang teguh Islam secara benar dan tidak bersikap defensif apologetik serta tidak bersikap "ahli penyelarasan" antara Haq dan Bathil [1], dialah Ust.Abu Bakar Ba'asyir. Beliau tetap teguh kokoh berbicara di depan penguasa secara langsung bahkan sendirian, bahwa Pancasila dan NKRI yang selama ini adalah 2 hal super sensitif yang jarang disinggung aktivis dakwah lainnya, tetapi oleh Ust.Ba'asyir dinyatakan sebagai Thagut dan tetap tidak mau menandatangani surat Pembebasan Bersyarat (PB) dan bahkan Ust.Ba'asyir pun akan lebih memilih tetap menetap di penjara jika terus didesak harus menandatangani surat PB yang berisi pernyataan patuh terhadap Pancasila dan NKRI. Dan beliau tetap menyatakan akan patuh hanya kepada Allah dan Rasulullah semata.

Memang patut diakui hingga saat ini masih banyak ulama yang melakukan penyelarasan antara Pancasila-NKRI agar dianggap tidak bertentangan dengan adillatul syar'i (qur'an, sunnah, ijma sahabat, qiyas syar'iyyah), sehingga menganggap bahwa nilai-nilai yang terkandung pada 2 hal Ashabiyah itu dianggap ada dalam Islam, sama dengan Islam, maka dicari-cari dalilnya, seolah jika kita mengamalkan 2 hal Ashabiyah tadi sama dengan mengamalkan Islam, sama dengan mendapatkan pahala, padahal tidak. Banyak juga yang berkata bahwa kita tidak boleh membenturkan 2 hal Ashabiyah tadi dengan Islam. Memang betul, tidak perlu dibenturkan, tetapi dari awal memang otomatis sudah berbenturan, karena memang bertentangan dengan Islam dan hal ini pernah menjadi pertarungan sengit 2 kali, yaitu ketika penghapusan poin ke-5 Piagam Jakarta tahun 1945 dan di dalam Konstituante tahun 1956-1959 antara Kubu Islam Vs Kubu Nasionalis yang akan merumuskan ulang dasar negara waktu itu.

Maka sudah barang tentu memang bertentangan dan tidak bisa dikatakan bahwa mengamalkan 2 hal Ashabiyah itu sama dengan mengamalkan Islam karena dianggap kandungan nilai yang terdapat diantara 2 hal tadi dengan Islam dianggap sama. Padahal jelas tetap berbeda. Apanya yang beda? Asasnya beda. Apa itu? 2 hal Ashabiyah tadi dasarnya jelas atas dasar rasio akal manusia yang dianggap paling masuk akal menurut asumsi, sedangkan Islam jelas merupakan Wahyu yang berasal dari Allah ta'ala. [2]

Oleh karena itu dengan mengucapkan Alhamdulillah atas dibebaskannya Ust.Ba'asyir, dimana beliau adalah ulama luar biasa yang memegang teguh Islam tanpa melonggarkan apapun, maka insyaAllah umat Islam pun akan turut semakin paham bahwa hanya Allah dan Rasulullah saja yang patut diagungkan, diperjuangkan hingga tegak secara kaffah, bukan 2 hal Ashabiyah tadi serta Demokrasi.

Umur sistem saat ini mungkin hanya tinggal sesaat lagi, umat sesaat lagi tidak hanya sekedar menyuarakan ihwal pergantian individu, tetapi pergantian sistem. Kapan? Mungkin setelah hasil pilpres. InsyaAllah, mari kita terus amati perkembangan kedepan seperti apa. Umat akan berubah dan umat sedang menunggu perubahan luar biasa.

Itulah analisis dari kami, ini hanyalah Dzan, bahkan mungkin Syak. Sebuah analisis hanyalah seni kemungkinan, tetapi semoga perubahan luar biasa akan segera terjadi sesaat lagi.

Wallahu alam bishowab.
Nazril Firaz Al-Farizi

Catatan kaki :
[1] Taqiyuddin An-Nabhani, Nida' Har Illa al-Muslimin min Hizbut Tahrir, hal. 184
[2] Hizbut Tahrir, Hatmiyyah Shira' al-Hadharat, hal. 14

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "DIBALIK DIBEBASKANNYA USTADZ ABU BAKAR BA'ASYIR (Sebuah Pertanda Tak Sekedar Soal Pilpres, Tapi Soal Sistem)"

Post a Comment