Jaminan Negara Kepada Rakyat dalam Negara Khilafah



Oleh: Hafidz Abdurrahman
Negara khilafah merupakan negara yang berbeda dengan negara-negara lain, mulai dari akar hingga cabang. Dalam negara khilafah, pemerintahan (al-hukm) bersifat tunggal, dan utuh. Tunggal, karena kekuasaannya dipegang oleh seorang khalifah. Utuh, karena tidak ada pembagian kekuasaan sebagaimana dalam sistem demokrasi, di mana legislatif, eksekutif dan yudikatif dipisahkan.
Karena kekuasaannya bersifat tunggal dan utuh, maka khilafah juga tidak mempunyai banyak lembaga untuk mengurusi urusan rakyatnya, sebagaimana dalam sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, selain negara, ada banyak lembaga yang terlibat dalam mengurusi urusan rakyat. Dokter, misalnya, mempunyai organisasi sendiri untuk mengurusi urusan para dokter, termasuk kesejahteraan mereka. Organisasi ini tidak akan mengurusi urusan buruh, guru, insinyur, maupun yang lain. Sebaliknya, masing-masing profesi ini mempunyai lembaga-lembaga sendiri yang mengurusi urusan mereka.
Perhatian Negara Khilafah
Nabi SAW telah menetapkan, “al-Imam ra’in wahuwa mas’ulun ‘an ra’iyyatihi.” (Imam [kepala negara] itu laksana penggembala, hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap [urusan] rakyatnya) (HR Bukhari). Dalam sabdanya, Nabi dengan tegas menyatakan, bahwa “wahuwa mas’ulun” (hanya dialah yang bertanggung jawab), yang nota bene merupakan bentuk adad al-hashr (perangkat [dalam bahasa Arab] untuk membatasi). Dengan kata lain, yang bertanggung jawab untuk mengurusi urusan rakyat hanyalah negara, bukan yang lain.
Hadits inilah yang menjadi dasar para khalifah di masa lalu untuk memberikan perhatian besar terhadap setiap urusan rakyatnya. Khalifah Umar bin Khatthab ra menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, isinya, “Amma ba’du, sesungguhnya para pengurus (urusan umat) yang paling bahagia di sisi Allah adalah orang yang membahagiakan rakyat (yang diurus)-nya. Sebaliknya, para pengurus (urusan umat) yang paling sengsara adalah orang yang paling menyusahkan rakyat (yang diurus)-nya. Berhati-hatilah kamu, agar tindak menyimpang, sehingga para penguasa di bawahmu menyimpang..” (Abu Yusuf, al-Kharaj, hal. 15). Bukah hanya itu, mereka pun tidak akan menunda-nunda pekerjaan mereka, karena itu sudah dianggap sebagai bentuk kelalaian.
Abu Yusuf menuturkan, “Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah, beliau berdiam diri selama 2 bulan untuk merenungkan diri dan kesedihannya atas ujian yang diberikan kepadanya dalam mengurus urusan umat manusia. Beliau pun mulai memutuskan perkara mereka, mengembalikan kezaliman yang dilakukan kepada yang berhak, sehingga perhatiannya kepada masyarakat jauh lebih besar ketimbang perhatiannya kepada dirinya sendiri. Beliau terus melakukan itu hingga meninggal dunia.”
Saat beliau wafat, para ulama datang menyatakan belasungkawa, dan takziyah kepada keluarganya. Mereka pun meminta kepada istrinya untuk menuturkan ihwal suaminya. Fatimah, istri Umar bin Abdul Aziz pun bercerita, “Demi Allah, dia shalat dan puasanya tidak lebih banyak ketimbang kalian. Namun, demi Allah, aku tidak melihat hamba Allah yang begitu takut kepada-Nya melebihi Umar. Semoga Allah mengasihinya. Beliau telah menyerahkan jiwa dan raganya untuk (mengurus urusan) manusia. Beliau duduk untuk memenuhi kebutuhan mereka sepanjang hari. Jika petang tiba, sementara masih ada kebutuhan mereka yang belum terpenuhi, dia akan lanjutkan di malam harinya. Suatu ketika, setelah dia memenuhi kebutuhan mereka, beliau minta lampu yang biasa digunakan untuk meneranginya, dengan biaya dari uang sakunya sendiri. Kemudian beliau pun shalat dua rakaat, lalu merenung dengan meletakkan tangannya di bawah dagunya, air matanya pun mengalir membasahi pipinya. Beliau selalu begitu hingga fajar, lalu paginya beliau berpuasa.”
Istrinya bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, adakah sesuatu terjadi padamu, hingga aku tak melihatmu malam ini?” Beliau menjawab, “Iya. Aku telah diangkat untuk mengurusi urusan umat ini, baik yang berkulit hitam maupun merah. Aku ingat mereka yang tidak kukenal, yang selalu qanaah meski kekurangan, yang fakir dan membutuhkan, yang ditawan dan tertindas, serta orang-orang yang seperti mereka di belahan bumi ini. Aku tahu, bahwa Allah akan meminta pertanggungjawabanku tentang mereka. Muhammad SAW juga akan menuntutku terhadap mereka. Aku takut, tidak ada lagi alasan yang bisa menjadi pegangan di hadapan Allah SWT. Aku pun takut, tidak mempunyai hujah di hadapan Muhammad SAW. Aku takut akan nasib diriku..”
Bahkan, Abu Yusuf menuturkan, ada seorang syeikh yang menuturkan kepadanya, bahwa saat di Madinah, ia melihat Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang paling bagus bajunya, paling wangi aromanya, dan paling ideal jalannya. Namun, setelah ia diangkat menjadi khalifah, ia berjalan bak rahib. Begitulah, perhatian khalifah kepada urusan rakyatnya sangat besar, melebihi perhatiannya kepada dirinya sendiri. Pendek kata, tak ada waktu sedikit pun yang mereka miliki, kecuali untuk mengurus urusan rakyatnya. Karena mereka tahu, bahwa itu merupakan tanggung jawabnya, yang harus ditunaikan kepada rakyatnya.
Jaminan Negara kepada Rakyat
Perhatian besar yang diberikan oleh negara (khalifah) kepada rakyatnya diwujudkan dengan memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyat negara khilafah. Kebutuhan dasar ini ada dua kategori. Pertama, kebutuhan pokok bagi individu, seperti sandang, papan, dan pangan. Kedua, kebutuhan pokok bagi kelompok, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Seluruh kebutuhan dasar tersebut dijamin oleh negara, dan dipastikan oleh negara bahwa kebutuhan tersebut telah diperoleh oleh setiap individu rakyatnya.
Kebutuhan dasar pertama, yaitu sandang, papan dan pangan dijamin oleh negara, dengan cara mewajibkan kepada setiap orang pria, baligh, berakal dan mampu untuk bekerja mencari nafkah. Jika kewajiban ini tidak mereka tunaikan, maka mereka akan dijatuhi sanksi oleh negara. Rezeki yang mereka peroleh, kemudian mereka belanjakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka, dan kebutuhan pribadi orang-orang yang menjadi tanggungannya. Dengan begitu, seluruh kebutuhan dasar ini bisa dipenuhi.
Jika cara ini tidak bisa, maka negara akan membantu mereka satu per satu, dengan memberikan bantuan langsung, sesuai dengan kebutuhan mereka. Baik berupa sandang, papan maupun pangan. Negara akan menggunakan budget Baitul Mal, dari pos zakat. Jika zakat tidak ada, bisa dari pos pendapatan yang lain. Bila tidak ada, bisa dari pajak, dan bisa dari pinjaman. Sedemikian hingga tidak satupun kebutuhan dasar rakyat negara khilafah yang tidak terpenuhi.
Kebutuhan yang kedua, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan, wajib dipenuhi oleh negara melalui kas negara. Negara wajib menyediakan layanan pendidikan gratis, mulai dari tingkat SD hingga SMU, bahkan PT. Demikian pula layanan kesehatan gratis untuk semua penyakit dan semua kalangan.  Juga keamanan cuma-Cuma. Semuanya dengan layanan terbaik, dan fasilitas nomor satu.
Jika kewajiban ini tidak ditunaikan oleh negara, maka negara dianggap melakukan kelalaian. Dalam hal ini, negara bisa dikoreksi, dan bahkan digugat di Mahkamah Mazalim oleh rakyat.
Negara akan menggunakan budget Baitul Mal, dari pos non-zakat. Jika tidak ada, bisa mengambil pajak dari kaum Muslim, laki-laki, berakal, baligh dan mampu. Bisa juga dari pinjaman. Sedemikian, hingga tidak satupun kebutuhan dasar rakyat negara khilafah ada yang tidak terpenuhi.
Dengan demikian, rakyat benar-benar mendapatkan haknya, yaitu dipenuhi seluruh kebutuhan dasarnya; sandang, papan, pangan, dan pendidikan, kesehatan serta keamanan dengan baik dan sempurna. Begitulah, cara negara khilafah menjamin kebutuhan rakyatnya. Wallahu a’lam

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Jaminan Negara Kepada Rakyat dalam Negara Khilafah"

Post a Comment