Karakteristik Pemimpin Dalam Islam

Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman


Kepemimpinan dalam Islam memegang peranan penting. Bahkan, al-Ghazali menyebut, Islam dan kepemimpinan yang mewujud dalam bentuk kekuasaan ini seperti dua saudara kembar. Islam menjadi pondasi kehidupan, sedangkan kepemimpinan, dengan kekuasaan yang ada di dalamnya, ibarat penjaga (pengawal)-nya. Tanpa kekuasaan, dengan kepemimpinannya, Islam akan lenyap. Begitulah, peranan penting kekuasaan dengan kepemimpinannya dalam Islam.
Maka, adanya kepemimpinan dalam Islam merupakan keniscayaan. Hukumnya pun wajib. Nabi menyatakan, “Idza kuntum tsalatan fi fallatin, fal yu’ammiru ahadukum.” (Jika kalian bertiga di suatu tempat, hendaknya salah seorang di antara kalian menjadi pemimpinnya). Hadits ini, juga hadits senada yang lainnya, menegaskan, bahwa setiap ada urusan bersama yang melibatkan banyak orang, maka harus ada yang memimpin urusan tersebut. Meski urusan itu mubah. Apalagi, jika urusan tersebut wajib. Karena itu, adanya kepemimpinan dalam Islam yang mengurus urusan bersama hukumnya wajib.
Tidak hanya itu, Islam bahkan menetapkan, bahwa setiap orang adalah pemimpin, yang bertanggung jawab terhadap apa yang diamanahkan kepadanya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi, “Kullukum ra’in wakullukum mas’ul[un] ‘an ra’iyyatihi” (Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan yang dimpimpinnya) (HR Muslim).
Kriteria Pemimpin Negara
Hanya saja, Islam memilah kepemimpinan secara umum dengan kepemimpinan khusus, yaitu kepemimpinan politik, atau pemimpin negara. Secara spesifik, pemimpin negara dalam Islam harus memiliki kriteria: Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Ketujuh kriteria ini merupakan syarat mutlak bagi pemimpin negara. Karena ketujuh kriteria ini telah ditetapkan oleh dalil syara’, sebagai kriteria yang wajib dimiliki seorang pemimpin. Jika salah satu dari ketujuh kriteria ini tidak ada, maka kepemimpinannya dinyatakan tidak sah.
Islam menetapkan kriteria Muslim, karena Alquran dengan tegas melarang kaum Muslim memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai mereka (QS an-Nisa’ [04]: 141). “Memberi jalan untuk menguasai” saja tidak diperbolehkan, apalagi “menguasai atau memimpin” secara langsung. Meski QS an-Nisa’ [04]: 141 ini berupa kalimat berita, namun penafian Allah secara permanen (nafyu at-ta’bid) di dalamnya sekaligus menjadi indikasi adanya larangan tegas. Selain itu, agar kalimat berita tersebut benar adanya, konsekuensinya penafian permanen yang diberitakan di dalamnya harus diwujudkan. Dengan begitu, bisa dipahami, bahwa ayat ini dengan tegas melarang orang kafir memimpin kaum Muslim.
Hal yang sama dinyatakan oleh nash, ketika Nabi menafikan secara permanen keberuntungan suatu kaum, jika mereka dipimpin kaum perempuan (HR. Bukhari dari Abi Bakrah). Penafian ini juga bisa diartikan sama, sebagai larangan bagi kaum perempuan menjadi pemimpin negara.
Adapun baligh dan berakal, karena dengan tegas Nabi menyatakan bahwa keduanya merupakan syarat taklif. Sementara syarat taklif ini merupakan syarat sah dan tidaknya tasharruf (tindakan hukum), baik secara lisan (qauli) maupun verbal (fi’li). Jika tindakan hukumnya tidak sah, maka dia lebih tidak layak lagi untuk menjadi pemimpin negara. Karena dia tidak memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum (tasharruf).
Begitu juga dengan kriteria adil, karena keadilan ini dipersyaratkan kepada saksi, sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat at-Thalaq: 02. Sedangkan pemimpin negara lebih agung, lebih berat dan lebih dari sekadar saksi. Tentu, syarat ini lebih layak disematkan kepada pemimpin negara.
Merdeka dan mampu juga merupakan kriteria yang mutlak dipenuhi seorang pemimpin negara. Karena kemerdekaan ini akan menentukan status tindakan hukumnya. Orang yang menjadi budak, tidak bisa melakukan tindakan hukum secara independen. Begitu juga orang yang dipenjara, atau disandera, baik oleh negara asing, kroni, cukong maupun parpol pendukungnya, bisa dianggap tidak merdeka. Karena tindakan hukumnya tidak independen. Pemimpin seperti ini hanya boneka.
Biasanya pemimpin boneka adalah pemimpin lemah, dan tidak berdaya. Nabi menyebutnya dengan istilah Ruwaibidhah. Dia adalah, “ar-Rajulu at-tafih yar’a syu’una al-‘ammah” (orang bodoh yang mengurus urusan orang banyak). Boneka seperti ini tidak layak menjadi pemimpin, karena pemimpin meniscayakan leadership. Ibarat lokomotif, dialah yang menarik atau mendorong gerbong. Bukan ditarik atau didorong oleh gerbong. Bahkan, ini merupakan kriteria yang sangat penting. Ketika Abu Dzar meminta amanah kepemimpinan, Nabi menolak memberikannya kepada Abu Dzar, sambil memberi nasihat, “Ya Aba Dzar, innaka dha’if[un], wa innaha hizy[un] wa nadamah yaum al-qiyamah.” (Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu orang yang lemah. Kepemimpinan itu bisa menjadi kehinaan dan penyesalan pada Hari Kiamat).

Karakteristik Pemimpin Negara
Islam menetapkan, bahwa adanya pemimpin untuk mengurus urusan orang yang dipimpinnya. Maka, pemerintahan dan kekuasaan tidak identik dengan power (quwwah). Juga tidak boleh bergeser dari misinya untuk mengurus dan melayani, menjadi alat untuk menindas dan mengintimidasi. Untuk mengurus dan melayani memang dibutuhkan power, tetapi power tidak boleh menjadi tumpuan dan tujuan.
Karena itu, Nabi mengajarkan sikap tawadhu’ (rendah hati) dalam memimpin. Dengan sikap tawadhu’, seseorang juga tidak akan kehilangan wibawanya. Justru sebaliknya, Allah akan mengangkat dan meninggikan derajatnya. Sikap itulah yang menjadikan Umar, saat menjadi khalifah, dengan power, ketegasan dan kepribadiannya yang kuat, sanggup menerima kritik bahkan hujatan keras terhadap dirinya. Semuanya diterima dengan lapang dada, karena menyadari bahwa kepemimpinan adalah amanah. Semuanya itu juga nyatanya tidak mengurangi kemuliaannya, baik di mata rakyat maupun Tuhannya.
Ketika kekuasaan dan pemerintahaan itu didedikasikan untuk mengurusi urusan rakyatnya, maka seorang penguasa akan mencintai rakyatnya dengan sepenuh hati. Dia sanggup blusukan, bukan untuk menarik simpati, atau membangun opini, tetapi untuk melayani dan memberi solusi. Karena dia memberikan cinta kepada rakyatnya, dia pun dicintai. Dia mendoakan rakyatnya, maka dia pun sama, didoakan oleh rakyatnya. Tanpa diminta.
Itulah tipe pemimpin yang digambarkan dalam hadits Nabi, sebagai pemimpin terbaik. “Khiyaru a’immatikum al-ladzina yuhibbunakum wa tuhibbunahum, wa yushallunakum wa tushallunahum.” (Pemimpin kalian yang terbaik adalah pemimpin yang mencintai kalian, dan kalian pun mencintainya. Mereka mendoakan kalian, dan kalian pun mendoakan mereka). Sebaliknya, pemimpin yang paling buruk adalah, “Syararu a’immatikum al-ladzina yabghadhunakum wa tabghadhunahum, wa yal’anukakum wa tal’anunahum.” (Pemimpin kalian yang terburuk adalah pemimpin yang membenci kalian, dan kalian pun membencinya. Mereka melaknat kalian, dan kalian pun melaknat mereka).
Tipe pemimpin yang terakhir ini memimpin bukan untuk melayani, tetapi minta dilayani. Misinya juga bergeser, dari mengurus dan melayani urusan rakyat, menjadi mengurus dan melayani kepentingannya sendiri. Dia bertindak apapun untuk mengamankan kepentingannya. Sanggup berbohong, menipu rakyat, korupsi, dan bahkan menindas rakyatnya agar tidak merongrong kekuasaannya. Inilah tipe pemimpin yang dibenci, dilaknat oleh rakyatnya, karena tindakannya sendiri.[]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Karakteristik Pemimpin Dalam Islam"

Post a Comment