MARI BICARA PERSOALAN PAPUA



Oleh : Nasrudin Joha

Hampir, tak ada solusi kongkrit yang ditawarkan pemerintahan Jokowi untuk menuntaskan persoalan Papua. Terakhir, Presiden hanya menghimbau untuk saling meminta dan memaafkan. Problem intinya justru tidak tersentuh.

Ibarat kobaran api yang sudah menyala dan membakar hutan yang sangat luas, Presiden hanya menghimbau : sudahlah, jangan main api. Ayo kita kembali berangkulan dan tidur dirumah.

Problem Papua, sejak lama itu berpangkal pada ketidakhadiran negara untuk menunaikan kewajibannya di Papua. Tugas negara itu terbagi pada dua urusan utama :

Pertama, tugas-tugas pelayanan negara bagi kemaslahatan hidup rakyat Papua. Dalam urusan ini, rakyat Papua merasa diabaikan, SDA nya hanya dieksploitasi besar-besaran untuk kepentingan Jakarta, sementara mayoritas penduduk Papua miskin dan termarginalkan.

Kedua, tugas negara menjaga stabilitas dan keamanan negara di Papua. Karena problem Pelayanan yang abai, mendistorsi dan memarginalkan, maka timbullah protes dan perlawanan.

Diantara protes dan perlawanan itu meningkat menjadi gerakan pemberontakan, disintegrasi. Dalam soal ini, negara tidak tegas, cenderung mengabaikan.

Kelemahan negara yang tidak tegas pada OPM ini, membuat gerakan OPM yang kecil perlahan membesar, semakin percaya diri dan semakin berani. Berulang kali, OPM membantai sipil, polisi dan militer Indonesia bahkan menantang perang.

Namun respons Jakarta lembek, Wiranto menyebut tentara tewas dalam tugas itu biasa. Anggota Polda Papua ditawan dan dibunuh OPM diminta jangan diributkan. Sikap seperti ini, tentu membuat OPM semakin tinggi hati dan menginjak-injak wibawa NKRI.

Memang benar, negara tidak mungkin bisa tegas kepada sparatis OPM jika dalam waktu yang sama tidak bertindak adil bagi rakyat Papua. Jika negara keras pada OPM, sementara rakyat Papua secara umum juga merasa terzalimi, keadaan ini justru menimbulkan simpati dan dukungan rakyat Papua kepada OPM.

Negara sendiri, tidak berdaya untuk menyejahterakan rakyat Papua karena berada dibawah penjajahan kapitalisme global. Emas Papua yang melimpah, misalnya tidak bisa dibagikan hasilnya kepada rakyat Papua bukan karena dinikmati rakyat Jawa. Tapi, kekayaan emas itu telah dirampok oleh PT freeport, dibawah kendali negara biang kapitalis Amerika.

Ketika negara, akan mengambil sikap tegas kepada OPM, Amerika juga akan menghantam negara telah melanggar HAM. Sementara, oknum pejabat di Jakarta sendiri lebih suka menikmati suap Freport agar Freport langgeng menjajah Papua, ketimbang tegas merebut emas Papua, untuk rakyat Papua, untuk rakyat Indonesia.

Bagi Amerika, isu kemerdekaan Papua lebih menguntungkan untuk mengokohkan penjajahan Amerika di Papua. Kelak, jika Papua resmi menjadi negara mandiri, Amerika lebih mudah mengendalikan Papua.

Biaya menjajah Papua lebih rendah ketika Papua merdeka, ketimbang mengkondisikan uang suap untuk pejabat Jakarta yang rakus dan melawan kritik umum dari seluruh rakyat Indonesia.

Jika Papua merdeka, ada dua keuntungan yang didapatkan Amerika :

Pertama, biaya politik untuk menjajah jauh lebih rendah. Pejabat baru selaku penguasa Papua, dengan uang receh, dengan suap yang sedikit, jauh lebih mudah dikendalikan ketimbang pejabat Jakarta yang sudah tau duit dolar Amerika, yang terkenal rakus.

Kedua, kritik dan rongrongan rakyat Papua relatif sangat mudah diatasi. Selain karena keterbelakangan pendidikan, juga karena sedikitnya orang yang mengkritik ketimbang menghadapi kritik ratusan juta rakyat Indonesia.

Kalau ada masalah krusial, tinggal bicara secara adat, menyembelih beberapa sapi, selesai. Tak akan ada, demo dan kritik intelektual dari rakyat Papua atas eksistensi penjajahan freeport.

Karena itu, saat ini Amerika sedang mengkondisikan agar Papua bisa mengadopsi keadaan seperti Timor Timur. Diawali dengan ketegangan politik, kerusuhan massa, tuntutan referendum, terlibatnya dunia internasional, dan terakhir fixd Papua ingin pisah dari NKRI.

Keadaan ini tidak dipahami pejabat Jakarta. Sebagian mereka yang paham juga tidak peduli, mereka lebih asyik berebut jatah kursi menteri ketimbang bicara soal Papua.

Lihat saja, tak ada komentar partai baik PDIP, Nasdem, Gerindra, GOLKAR, PKB, PPP, PAN, tentang isu Papua. Tak ada narasi pembelaan dan usulan solusi tentang krisis Papua.

Namun, mereka justru sibuk menambah porsi pimpinan MPR RI bahkan berwacana merevisi lagi UU MD3 untuk mengakomodir agar jumlah pimpinan MPR bisa 10, agar semua partai kebagian kue kekuasaan. Mereka sibuk rebutan jatah menteri, yang karena urusan ini Surya Paloh sampai berapi-api menyebut negara ini negara kapitalis liberal.

Karena itu, sulit mendapat solusi persoalan OPM dari Jokowi, Wiranto, Pemerintah, partai, apalagi dari Prabowo. Dia, yang di elu-elukan macan Asia (konon telah berubah menjadi kucing pemamah nasi goreng) juga tak pernah bicara solusi Papua.

Apalagi berharap pada Megawati, atau begawan BPIP seperti Mahfud MD, Try Sutrisno, Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'aruf Amin, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe dan Wisnu Bawa Tenaya. Mereka semua bungkam, duit ratusan juta tetap masuk ke rekening tiap bulan.

Entah apa juga manfaat BPIP bagi rakyat, sampai hari ini tidak jelas kinerjanya. Mereka, hanya nyinyir keras kalau menghadapi isu terkait umat Islam. Terkait OPM ? Mereka semua koor bungkam. [].

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MARI BICARA PERSOALAN PAPUA"

Post a Comment