REFLEKSI 100 TAHUN DUNIA TANPA KHILAFAH - ILMUAN MUSLIM DARI CINA

Ilmuwan Muslim dari Cina

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Provinsi Xinjiang di Republik Rakyat Tiongkok (Cina) dengan penduduknya yang beretnis Uighur dan beragama Islam sedang disorot dunia.  PBB melaporkan ada indikasi pelanggaran HAM dan bahkan genosida yang dilakukan pemerintah komunis atas rakyat muslim yang mayoritas di Xinjiang.  Xinjiang adalah provinsi terbarat dan terluas di Tiongkok yang kaya sumber daya alam.  Provinsi ini juga pintu ke barat untuk proyek jalan sutra modern atau dikenal dengan “One Belt One Road” (OBOR).  Xinjiang berbatasan dengan Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan dan India.

Sepanjang sejarah, terjadi pasang surut pengaruh berbagai peradaban di Xinjiang.  Sebelum Cina modern, Xinjiang lebih dikenal dengan nama Turkistan Timur, pernah menjadi salah satu provinsi Daulah Khilafah yang berbatasan dengan Kekaisaran Cina.

Namun kini, Xinjiang dituduh oleh pemerintah komunis Tiongkok sebagai ladang radikalisme.  Ada elemen-elemen di Xinjiang yang berjuang memerdekakan diri dari Beijing, dan menjauhkan rakyat dari komunisme.  Tentu wajar mereka menyerukan untuk kembali kepada jatidiri mereka, yaitu Islam.  Beijing memandang, gerakan ini sangat berbahaya, karena secara etnis, Uighurs memang lebih Kaukasian, daripada Cina.  Apalagi bahasa mereka lebih condong kepada Arab dan Turki, dan agama mereka Islam.  Maka ratusan ribu penduduk Xinjiang dipaksa menjalani camp-camp re-edukasi,  agar mereka merasa “lebih Cina” daripada Muslim.  Pada saat yang sama, warisan sejarah dan budaya mereka dipersempit.  Ribuan masjid telah ditutup.  Dan ketika kaum Muslim Uighur ingin shalat Jumat, keterbatasan masjid membuat mereka meluber di jalanan, itu dipersalahkan pemerintah, karena dianggap melanggar aturan di ruang publik.

Apa yang terjadi hari ini di Xinjiang sering dibantah oleh pejabat resmi Tiongkok.  Bahkan beberapa tokoh ormas di negeri ini ikut membela sikap pemerintah Tiongkok sebagai hak yang wajar dari sebuah pemerintahan negara yang berdaulat.  Intinya menurut mereka, Islam di Cina ditolerir bila hanya diterapkan seputar hak-hak pribadi, namun mustahil ditolerir bila itu menyangkut kedaulatan negara atau ideologi komunisme.  Namun pembelaan ini oleh kelompok lain dilihat lebih karena kepentingan atau ketakutan akan terhentinya bantuan yang selama ini rutin diterima oleh ormas pembela pemerintah Tiongkok itu.

Halal Shop di Masjid Huxi, Shanghai

Halal Shop di Masjid Huxi, Shanghai

Ketika Dinasti Song berkuasa (960-1127 M), peradaban Islamlah mempengaruhi perkembangan teknologi di Cina.

Sebenarnya, hubungan baik Islam dan Cina sudah sangat lama.  Salah seorang sahabat nabi, Saad bin Abi Waqqas ra. (wafat 674 M) berdakwah ke Cina, dan kuburannya ada di Guangzhou.  Sejumlah sahabat juga mempelajari teknologi yang berkembang lebih dulu di Cina, seperti kertas atau mesiu.  Dan sejarah mencatat, meski awalnya, peradaban Cina jauh di atas peradaban Islam, namun kesungguhan umat Islam dalam menuntut ilmu lambat laun berhasil menyusul bahkan melampaui Cina.

Isa Ziling Ma dalam tulisannya ”Islamic Astronomy in China: Spread and Development” menuturkan, astronomi Islam menyebar ke Cina pada era Dinasti Song. Sayangnya, bukti resmi yang mencatat peristiwa penyebaran sains Islam baru di masa Dinasti Yuan.

Fakta itu terkuak setelah seorang ilmuwan Taiwan bernama Pof Luo Xianglin pada tahun 1968 menemukan sebuah buku berjudul ”The Huai Ning  Ma Family Tree”  di Perpustakaan Studi Asia Timur, Columbia University, AS.

Prof Luo menemukan nama Ma Yize sebagai astronom Islam di Cina.  Buku “The Huai Ning Ma Family Tree” itu menjelaskan silsilah Ma Yize. Ma Yize terlahir tahun 920 M di Rumi (kawasan Turki), dan nenek moyangnya berasal dari perbatasan Yaman dan Oman sekarang.  Nama aslinya dalam bahasa Arab atau Turki tidak tercatat.  Ia datang ke Cina di usia 40 tahun.  Kaisar Taizu (berkuasa 950-976 M) begitu mengagumi astronomi di dunia Islam.  Pada 961 M, Kaisar Taizu menunjuk Ma Yize untuk mengembangkan astronomi di Cina.

Karier pertamanya di bidang astronomi  dimulai dengan membantu Wang Chuna mengumpulkan beberapa karya kalender. Ia mengembangkan astronomi dan mengamati alam semesta dengan metode Islam (semisal seminggu tujuh hari). Berbagai temuan Ma Yize dalam astronomi dan astrologi kemudian dikumpulkan Wang Chuna dalam kitab “Yingtianli” (artinya “Kalender Surga Sejalan”).

Ma Yize

Ma Yize

Ma Yize menerjemahkan banyak karya astronomi  dan matematika Islam ke dalam bahasa Cina, termasuk:

Kitab al-Zij oleh Abu ‘Abdallah al-Battani (858-929 M) [Latin: Albatenius – “Opus astronomicum”].

al-Zij al-sabi [Tabel Sabian]

Kitab Matali ‘al-Buruj [“Kenaikan Tanda Zodiak”]

Kitab Aqdar al-Ittisalat [“Aplikasi Astronomi”]

Di karya-karyanya sendiri, Ma Yize terlihat dipengaruhi oleh astronom Al-Battani dan geografer Al-Hamdani.

Karena kontribusi Ma dalam penyusunan ‘Yingtianli’, Ma dijadikan bangsawan turun temurun dan anak-anaknya menggantikan posisinya di Observatorium Kaisar.  Ini menunjukkan posisi terhormat ilmuwan muslim di Cina saat itu.

Masjid Besar di Xian, China, berusia 13 abad.

Masjid Besar di Xian, China, berusia 13 abad.


Sumber: Tabloid Media Umat Edisi 235

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "REFLEKSI 100 TAHUN DUNIA TANPA KHILAFAH - ILMUAN MUSLIM DARI CINA"

Post a Comment