Idul Fitri: Makna Sesungguhnya Kemenangan



Oleh: Yuana Ryan Tresna

Pendahuluan

Ramadhan tahun 1441 H adalah momen yang istimewa. Umat Islam harus menjalankan berbagai kewajiban di bulan Ramadhan dalam situasi wabah Covid-19 yang menyebar di banyak negara di dunia. Umat Islam tidak leluasa menyiarkan agamanya, Ramadhannya, dengan pertemuan langsung dalam berbagai ibadah. Misalnya, shalat tarawih berjamaah di masjid, kemeriahan peringatan Nuzulul Quran, Shalat Idul Fitri di lapangan, dan silaturrahim mengujungi kerabat. Semua harus disesuaikan dengan kondisi di daerahnya. Namun hal itu rupanya membuat umat Islam kreatif mencari alternatif lain, baik secara fiqih maupun secara teknis. Semua hal itu bukanlah tolok ukur keberhasilan dan kemenangan kita melewati bulan pendidikan, Ramadhan. Kemenangan Idul Fitri adalah saat kita naik derajat menuju tingkatan takwa.


Makna Kemenangan dalam Idul Fitri

Ibadah puasa di bulan Ramadhan sudah berakhir. Umat Islam merayakan Hari Kemenangan. Kemenangan bukan ditandai dengan perlengkapan hidup yang serba baru, namun takwa yang menjadi baru (meningkat). Oleh karenanya, seharusnya terlahir jutaan umat Islam yang semakin meningkat ketakwaannya kepada Allah SWT, sesuai firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 183)

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa hikmah diwajibkannya puasa tidak lain adalah agar mereka menjadi orang-orang yang bertakwa. Apakah takwa itu? Kata “taqwa” berasal dari kata “waqâ”, yang berarti melindungi. Maknanya, untuk melindungi diri dari murka dan azab Allah SWT. Caranya dengan menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Itulah pengertian “taqwa”.

Pertanyaannya adalah apakah kita benar-benar telah menjadi orang yang bertakwa? Untuk mengetahuinya, mari kita lihat bagaimana sikap dan ketaatan kita terhadap berbagai perintah dan larangan Allah SWT. Misalnya, ketika Allah SWT memerintahkan kita berpuasa, kita telah mampu menaati dan mengamalkan kewajiban tersebut. Selanjutnya, bagaimana sikap dan ketaatan kita terhadap perintah Allah SWT yang lain? Seperti dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ﴿١٧٨﴾

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh,..” (QS. Al-Baqarah: 178)

Bagaimana sikap kita terhadap hal itu? Apakah kita siap untuk menaatinya? Atau, justru mengabaikannya dan tidak peduli terhadap kewajiban tersebut? Padahal hikmah dari diwajibkannya menjalankan qishash tersebut juga sama dengan pengamalan puasa, yaitu agar kita menjadi orang yang bertakwa.

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٧٩﴾

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 179).

Hakikat Kemenangan Sejati

Jadi hakikat kemenangan adalah ketika umat Islam menjadi umat yang bertakwa kepada Allah SWT. Saat ini, kita menyaksikan masih banyak perintah Allah SWT yang belum diamalkan dan berbagai larangan Allah yang masih dilanggar, terutama syariah Islam yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan lain sebagainya.

Belum diamalkannya syariah Islam secara kaffah dalam kehidupan kita inilah yang menyebabkan kehidupan kaum muslimin saat ini terpuruk, terjajah, hancur dan tertindas. Saudara-saudara kita di Palestina, Suriah, Irak, Afghanistan, Xinjiang, Chechnya, Rohingya, Thailand Selatan, Filipina Selatan, dsb, mereka dijajah, disiksa, dan banyak yang diusir dari negerinya, tanpa ada yang melindungi dan membelanya.

Di Indonesia, rakyat semakin miskin, harga-harga kebutuhan pokok yang terus membumbung tinggi, pendidikan mahal tapi kualitasnya rendah, kekayaan alam kita dikeruk oleh korporasi-korporasi asing, layanan kesehatan makin mahal, pergaulan pemuda dan pemudinya semakin rusak, korupsi kian merajalela, kerusakan lingkungan yang semakin parah, dan sebagainya.

Pangkal keterpurukan ini adalah karena umat Islam telah banyak menyimpang dari aturan Allah SWT. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah SWT,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى ﴿١٢٤﴾

 “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta…”. (QS. Thaha: 124)

Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah, “menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/323). Sedangkan penghidupan yang sempit tidak lain adalah kehidupan yang semakin miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya, tertindas dan sebagainya, sebagaimana yang kita saksikan dan rasakan sekarang ini di dunia Islam.

Ramadhan telah berakhir. Pada Hari Raya Idul Fitri, kita harus menjadikan sebagai momentum untuk membuktikan diri, bahwa kita adalah umat yang layak dan berhak untuk disebut sebagai umat yang bertakwa di hadapan Allah SWT, yakni yang siap tunduk secara total kepada syariat-Nya.

Kunci Kemenangan Sejati Umat Islam

Ada tiga kunci kemenangan sejati umat Islam: Pertama, memantaskan diri sebagai hamba yang kokoh keimanannya, dalam keilmuannya, dan dekat dengan Allah SWT; Kedua, maksimal dalam melakukan upaya perubahan dari suatu kondisi menuju kondisi lain yang lebih baik; dan Ketiga, sabar atas panjangnya perjuangan dan bahaya tipu daya musuh.

Mengapa harus memantaskan diri dari sisi keimanan dan ketakwaan? Karena kemenangan bagi umat Islam adalah karunia dari Allah. Adapun yang wajib kita lakukan adalah melakukan ikhtiar dalam perjuangan untuk mengubah keadaan dunia yang sebelumnya jauh dari aturan Islam, berubah menuju keadaan yang tunduk dan patuh pada aturan Allah SWT. Inilah perubahan menuju diterapkannya syariah Islam secara kaffah. Allah SWT berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 208)

Perubahan itu harus diupayakan sendiri oleh umat islam, karena perubahan itu bersifat aktif. Allah SWT berfirman,

إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ﴿١١﴾

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ra’d: 11)

Imam al-Quthubi dalam Tafsirnya menjelaskan,

قوله تعالى : إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم أخبر الله تعالى في هذه الآية أنه لا يغير ما بقوم حتى يقع منهم تغيير ، إما منهم أو من الناظر لهم ، أو ممن هو منهم بسبب ; كما غير الله بالمنهزمين يوم أحد بسبب تغيير الرماة بأنفسهم ، إلى غير هذا من أمثلة الشريعة ; فليس معنى الآية أنه ليس ينزل بأحد عقوبة إلا بأن يتقدم منه ذنب ، بل قد تنزل المصائب بذنوب الغير ; كما قال – صلى الله عليه وسلم – : وقد سئل أنهلك وفينا الصالحون ؟ قال : نعم إذا كثر الخبث . والله أعلم . ⁸

Tentang firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ bahwa Allah Ta’ala memberitahukan di ayat ini, bahwa Dia tidaklah mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka melakukan perubahan, baik (1) dari kalangan mereka; (2) orang yang mengurus mereka; atau (3) dari salah seorang mereka dengan hubungan apapun; sebagaimana Allah mengubah keadaan orang-orang yang kalah pada perang Uhud karena sebab sikap berubah yang dilakukan oleh para pemanah, dan contoh-contoh lainnya yang ada dalam syariat. Maksud ayat tersebut bukanlah berarti tidak ada siksa yang turun kepada seseorang kecuali setelah didahului oleh dosa, bahkan bisa saja musibah turun karena dosa yang lain sebagaimana sabda Rasulullah SAW ketika ditanya, “Apakah kita akan binasa, sedangkan di tengah-tengah kita masih banyak orang yang shalih?” Beliau menjawab, “Ya, jika keburukan (kefasikan) banyak terjadi.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah), wallahu a’lam.” (al-Qurthubi, Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 9, hlm. 294)

Imam al-Baidhawi juga menyatakan,

إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ من العافية والنعمة. حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ من الأحوال الجميلة بالأحوال القبيحة

“Sesungguhnya Allah tidak mengganti sesuatu yang ada pada kamu dari kesehatan dan kenikmatan sampai mereka mengubah dengan individu mereka dari keadaan yang baik dengan keadaan yang buruk.” (al-Baidhawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, juz 3, hlm. 183).

Jadi perubahan pada sebuah masyarakat itu bisa diusahakan dan datang dari 3 pihak: (1) Dari masyarakat tersebut (internal); (2) Pihak yang mengurus masyarakat tersebut (pemimpin internal); (3) Orang dari masyarakat tersebut dengan hubungan apapun (oknum internal).

Pihak ketiga ini adalah inisiator dan juga pelaku perubahan. Lihatlah inisiatif pasukan pemanah dalam perang Uhud, yang telah menjadikan perubahan keadaan pasukan kaum muslim dari kemenangan menjadi kekalahan. Inilah fakta perubahan, baik dari menang ke kalah maupun dari kalah ke menang.

Orang seperti mereka (pihak ketiga yang disebutkan Imam al-Quthubi) sulit melakukan perubahan masyarakat menuju tatanan tegaknya kehidupan Islam jika tidak terdapat tiga syarat utama: (1) Merupakan kelompok yang solid dengan fikrah dan thariqah yang diadopsinya; (2) Mereka terdiri dari orang-orang yang ikhlas dan memiliki kapasitas memadai; dan (3) Mereka memiliki ikatan yang kokoh dengan ketaatan kepada pemimpinnya.

Dengan memperhatikan penafsiran di atas, perubahan yang dimaksud bisa bermakna mengubah yang buruk menjadi baik, namun juga bisa bermakna merawat agar anugerah yang baik dari Allah tak berubah menjadi buruk karena perilaku kita. Hal kedua inilah yang dicontohkan oleh Imam al-Qurthubi dan Imam al-Baidhawi di atas.

Adapun terkait sabar, Allah SWT berfirman,

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ ﴿١٢٧﴾ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ ﴿١٢٨﴾

“Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu tidak akan terwujud kecuali dengan pertolongan Allah, dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Nahl: 127 – 128).

Ungkapan “bersabarĺah dan  kesabaranmu itu tidak akan terwujud kecuali dengan pertolongan Allah” adalah penegasanakan perintah bersabar dan pemberitahuan bahwa sabar itu tidak akan bisa diperoleh kecuali dengan kehendak Allah, dengan pertolongan Allah, dan kekuatan Allah.

Bersabar menghadapi musuh dakwah yang menyalahi dan menentang dakwah adalah kunci kemenangan. Ini adalah sunnatullah. Untuk bisa bersabar kita berupaya dan berdoa agar bisa bersabar.

Mengembalikan Kemenangan Umat Islam

Mengembalikan kemenangan umat Islam artinya membawa umat pada posisi terbaik, sebagai kekuatan di dunia yang diperhitungkan dalam percaturan politik global. Perjuangan mengembalikan kekuatan umat ini memang tidak mudah dan tidak ringan. Maka, momentum berakhirnya puasa Ramadhan ini, yang insya Allah telah melahirkan kembali jutaan umat Islam yang telah memiliki kadar keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT yang tinggi, besar, dan kuat, menjadi modal bagi terbitnya fajar kemenangan Islam di muka bumi ini, yaitu tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah. Inilah janji Allah SWT,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿٥٥﴾

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka —sesudah mereka berada dalam ketakutan— menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun. Siapa saja yang kafir sesudah janji itu, mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Nur: 55)

Penutup

Kemenangan demi kemenangan yang berhasil diraih Rasulullah SAW dan para shahabatnya, serta para khalifah sesudahnya, adalah karena mereka menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan mereka. Ini pulalah yang menjadikan generasi Islam terdahulu mampu membangun kekuatan “super power”, Negara Khilafah, yang disegani kawan dan ditakuti lawan. Negara Khilafah inilah yang mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya, baik muslim maupun non-muslim; mampu melahirkan para pejuang Islam yang tangguh dalam mengemban misi pembebasan di berbagai negeri; mampu menumbuh-suburkan perkembangan sains dan teknologi untuk kemaslahatan umat manusia; mampu menjadikan negeri Islam sebagai kiblat perkembangan sains dan teknologi, di saat bangsa Eropa masih tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan. Itulah kemenangan umat Islam dan kebaikan untuk dunia. Setelah merayakan kemenangan Idul Fitri sebagai kemenangan personal, semoga kita bisa segera merayakan kemenangan kolektif umat dalam percaturan politik dunia.[]

 [Artikel ini Dimuat di Majalah Al-Wa’ie, Edisi 1-30 Juni 2020]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Idul Fitri: Makna Sesungguhnya Kemenangan"

Post a Comment