Bagaimana Khilafah Membangun Infrastruktur?

 



Soal:

Dengan mencuatnya masalah pembangunan infrastruktur yang dibiayai dengan utang, dan ternyata harus dibayar mahal oleh rakyat, bisakah dijelaskan, bagaimana Khilafah membiayai pembangunan infrastruktur ini?


Jawab:

Infrastruktur identik dengan prasarana, yaitu segala sesuatu yang merupakan penunjang utama penyelenggaraan suatu proses. Infrastruktur itu sendiri bisa dipilah menjadi tiga bagian besar, yaitu:

  • Infrastruktur keras (physical hard infrastructure). Meliputi jalan raya, kereta api, bandara, dermaga, pelabuhan dan saluran irigasi.
  • Infrastruktur keras non-fisik (non-physical hard infrastructure). Berkaitan dengan fungsi utilitas umum, seperti ketersediaan air bersih berikut instalasi pengolaan air dan jaringan pipa penyalur, pasokan listrik, jaringan telekomunikasi (telepon dan internet), dan pasokan energi mulai dari minyak bumi, biodiesel, dan gas berikut pipa distribusinya.
  • Infrastruktur lunak (soft infrastructure). Biasa pula disebut kerangka institusional atau kelembagaan yang meliputi berbagai nilai (termasuk etos kerja), norma (khususnya yang telah dikembangkan dan dikodifikasikan menjadi peraturan hukum dan perundang-undangan), serta kualitas pelayanan umum yang disediakan oleh berbagai pihak terkait, khususnya Pemerintah.

Kadang cukup dibagi menjadi dua, yaitu: (1) infrastruktur, yang meliputi fisik dan non-fisik,  sebagaimana dalam kategori 1 dan 2; (2) suprastruktur, atau disebut infrastruk lunak, sebagaimana dalam kategori 3.

Secara umum, infrastruktur ini adalah fasilitas umum, yang dibutuhkan oleh semua orang, sehingga termasuk dalam kategori marâfiq al-jamâ’ah, seperti air bersih, listrik, dan sejenisnya. Begitu juga termasuk fasilitas umum yang tidak mungkin dimonopoli oleh individu, seperti jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya. Semuanya ini merupakan bagian dari infrastruktur yang dibutuhkan oleh seluruh manusia dan wajib disediakan oleh negara. Karena ini merupakan fasilitas umum, maka penggunannya pun gratis, tanpa dipungut biaya.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana Khilafah bisa membiayai pembangunan infrastruktur ini?

Dalam kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah karya al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum, dijelaskan bahwa ada tiga strategi yang bisa dilakukan oleh negara untuk membiayai proyek infrastruktur ini, yaitu:

  • Meminjam kepada negara asing, termasuk lembaga keuangan global.
  • Memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum seperti minyak, gas dan tambang.
  • Mengambil pajak dari umat/rakyat.

Mengenai pinjaman dari negara asing, atau lembaga keuangan global, maka strategi ini jelas keliru, dan tidak dibenarkan oleh syariah. Pertama, karena hutang-hutang tersebut disertai bunga. Jika tidak pun, pasti disertai dengan berbagai syarat yang mengikat. Sebab tidak ada makan siang yang gratis. Padahal hutang dengan disertai bunga secara qath’i hukumnya haram, baik untuk individu maupun negara, karena termasuk riba (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 278).

Selain itu berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh negara kreditor kepada Khilafah jelas akan menjeratnya, sebagaimana yang pernah dialami oleh Khilafah ‘Utsmani. Ini akan menyebabkan negara asing atau lembaga keuangan global tersebut mempunyai celah untuk mendikte dan mengontrol Khilafah. Ini juga tidak boleh dan diharamkan (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 141).

Kedua, hutang luar negeri, dan hutang kepada lembaga keuangan global ini merupakan ancaman serius bagi negeri Islam. Ini jugalah yang menjadi sebab mengapa kaum kafir mempunyai cengekraman di negeri kaum Muslim. Mereka bisa menempatkan bonekanya menjadi penguasa di negeri mereka meski penguasa itu orang yang paling dungu sekalipun. Karena itu Khalifah haram menggunakan strategi ini untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

Mengenai strategi kedua, yaitu memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum, seperti minyak, gas dan tambang, misalnya, Khalifah bisa menetapkan kilang minyak, gas dan sumber tambang tertentu, seperti Fosfat, Emas, Tembaga, dan sejenisnya, pengeluarnya dikhususkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Strategi ini boleh ditempuh oleh Khalifah. Kebijakan ini juga merupakan kebijakan yang tepat, untuk memenuhi kebutuhan dana yang digunakan dalam pembangunan infrastruktur.

Dasar kebolehan Khalifah untuk mengambil strategi ini, antara lain: Pertama, Rasulullah saw. ketika menjadi kepala negara, juga para khalifah setelah beliau, telah melakukan tindakan memproteksi tempat-tempat tertentu, yang merupakan kepemilikan umum. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ حِمَى إِلاَّ لِلَّهِ وَلِرَسُوْلِهِ

Tidak ada hak untuk memproteksi, kecuali milik Allah dan Rasul-Nya (HR Abu Dawud).

Dengan kata lain, negara berhak memproteksinya, dan dikhususkan untuk membiayai jihad, fakir, miskin, dan seluruh kemaslahatan publik. Tidak sebagaimana proteksi yang terjadi pada zaman Jahiliyah. Saat itu individu bangsawan berhak memonopoli untuk dirinya.

Selain itu, Nabi saw. juga pernah memproteksi Tanah an-Naqi’, tempat yang terletak di Madinah al-Munawwarah, untuk menjadi tempat menggembala kuda (HR Abu Ubaid). Ketika Abu Bakar menjadi khalifah, beliau juga melakukan hal yang sama, dengan memproteksi ar-Rabdzah, yang dikhususkan untuk menggembalakan unta zakat. Untuk mengurus itu, beliau mengangkat budaknya, Abu Salamah. Khalifah Umar juga melakukan hal yang sama. Bahkan tidak hanya ar-Rabdzah, tetapi juga as-Syaraf. Untuk mengurus itu, beliau mengangkat budaknya, yang bernama Hunnaiyyi.

Kedua, Khalifah Umar bin al-Khaththab menolak membagikan Tanah Irak, Syam dan Mesir kepada pasukan kaum Muslim yang ikut membebaskan tanah tersebut dengan pedang-pedang mereka. Sebelumnya, mereka meminta kepada beliau membagikan tanah tersebut kepada mereka. Beliau pun tahu bahwa merekalah yang telah membebaskan tanah itu dengan pedang-pedang mereka. Mestinya semuanya menjadi ghanîmah bagi mereka. Beliau juga tahu, ghanîmah itu semestinya dibagikan kepada orang yang mendapatkannya. Sebanyak 4/5 menjadi hak mereka yang ikut berperang, sedangkan 1/5 merupakan hak Baitul Mal. Beliau juga tahu, Nabi saw. telah membagikan Tanah Khaibar kepada mereka yang ikut berperang. Meski demikian, beliau tetap menolak untuk membagikan tanah itu kepada mereka, karena beliau memahami ayat Fai’, dan dari sana ada perintah untuk memiliki sumber pendapatan tetap dan terus-menerus. Dengan begitu, bisa menjadi sumber pemasukan yang bisa digunakan untuk membiayai kepentingan negara, pasukan, kebutuhan fakir, miskin, anak yatim, janda, dan sebagainya. Khalifah Umar bin al-Khaththab paham betul fakta ayat Fai’ (QS al-Hasyr []: 6-10).

Dalam dialog Khalifah ‘Umar dengan kaum Anshar, ‘Umar mengatakan, “Aku berpendapat perlu menahan tanah-tanah ini dengan semua kandungannya, kemudian menetapkan untuk mereka kharaj atas tanah-tanah itu. Di pundak mereka juga ada kewajiban jizyah. Mereka akan membayarkannya sehingga bisa menjadi Fai’ bagi kaum Muslim, baik yang ikut berperang maupun keturunan mereka. Termasuk generasi yang lahir setelah mereka.”

Ketiga, yaitu mengambil pajak dari kaum Muslim untuk membiayai infrastruktur. Strategi ini hanya boleh dilakukan ketika Baitul Mal tidak ada kas yang bisa digunakan. Itu pun hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana vital, dan hanya diambil dari kaum Muslim, laki-laki, dan mampu. Selain itu tidak.

Begitulah strategi Negara Khilafah dalam membiayai proyek infrastruktur.

WalLâhu a’lam.

[KH. Hafidz Abdurrahman]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bagaimana Khilafah Membangun Infrastruktur?"

Post a Comment