LAPORAN TERHADAP UST ISMAIL YUSANTO ADALAH KONFIRMASI KEKALAHAN INTELEKTUAL REZIM MENGHADAPI NARASI DAKWAH KHILAFAH

 


[Legal Opini & Politik, Atas Laporan Polisi Nomor : LP/5137/VIII/YAN 25/2020/SPKT/PMJ tanggal 28 Agustus 2020 a/n Pelapor Ayik Heriansyah]

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.

Advokat Pejuang Khilafah

Sebagaimana dikabarkan, Ayik Heriansyah didampingi Muanas Alaidid melaporkan Ust Ismail Yusanto ke Kepolisian Metro Jaya dengan Laporan Polisi Nomor : LP/5137/VIII/YAN 25/2020/SPKT/PMJ tanggal 28 Agustus 2020. Ihwal yang mendasari laporan adalah status Ust Ismail Yusanto sebagai Jubir HTI dan dakwah Khilafah yang diembannya ditengah Umat.


Soal mengapa laporan begitu responsif diterima penyidik, juga adanya Muanas Alaidid yang menjadi pendamping Ayik Heriansyah, sudah dapat diduga bahwa rezim berada dibalik Laporan ini. Dalam banyak kasus kriminalisasi Ulama dan aktivis Islam, sebab utama berprosesnya kasus bukan semata adanya laporan tetapi sikap penerima laporan yang begitu responsif menindaklanjuti laporan jika aduan berasal dari kubu rezim.

Muanas Alaidid adalah kader PSI yang merupakan koalisi partai rezim. Sementara Pelapor, adalah orang yang telah dipecat dari HTI.

Jejak Muanas Alaidid ada pada kasus kriminalisasi terhadap Ust Alfian Tanjung, Jonru Ginting, hingga Ali Baharsyah. Muanas selalu ada di kubu Rezim dan berseberangan dengan aktivis yang kontra rezim.

Kepentingan rival politik, rasa sakit hati, serta yang terakhir meledaknya opini dakwah Khilafah melalui tayangan film dokumenter Jejak Khilafah Di Nusantara (JKDN), diduga kuat menjadi bagian dari latar belakang Pelaporan. Artinya, publik patut memiliki praduga tindakan pelaporan adalah karena adanya kekalahan intelektual kubu yang kontra Khilafah, kemudian 'meminjam tangan kekuasaan' untuk membungkam dakwah Khilafah melalui tindakan kriminalisasi.

*Kedudukan Hukum Kasus*

Dalam Laporan Polisi Nomor : LP/5137/VIII/YAN 25/2020/SPKT/PMJ tanggal 28 Agustus 2020,  perkara yang diadukan adalah tindak Pidana di bidang Ormas atau dibidang ITE, dan atau turut campur dalam perkumpulan dengan maksud membahayakan keamanan Negara.

Peristiwa yang dipersoalkan terjadi pada tanggal 26 Agustus 2020. Tidak jelas peristiwa apa yang dimaksud, tidak pula tegas disebutkan pasal apa yang dijadikan dasar laporan pidana. Namun, dalam rilis terpisah Ayik Heriansyah selaku pelapor menyebut Pelaporan  terhadap Ust Ismail Yusanto karena masih menyandang jabatan Juru Bicara HTI dan terus mempropagandakan khilafah ala HTI yang menurutnya bertentangan dengan Pancasila dan mengancam keberlangsungan negara.

Sementara Muannas Alaidid, menyebut laporan dibuat sehubungan adanya dugaan panggarangan UU No 16 Tahun 2017 tentang Ormas Pasal 82A Ayat (2) juncto Pasal 59 Ayat (4) Poin (b) & (c). Selain itu, laporan juga dibuat terkait dugaan pelanggaran Pasal 28 Ayat (2) Juncto Pasal 45A Ayat (2) UU No 19 Tahun 2016 tentang ITE dan Pasal 169 KUHP.

Dalam Laporan Polisi Nomor : LP/5137/VIII/YAN 25/2020/SPKT/PMJ tanggal 28 Agustus 2020, memang tidak ditulis deskripsi kasus dugaan tindak pidana yang dilaporkan, juga tidak disebutkan pasal apa saja yang dilanggar, sebagaimana lazimnya laporan pidana. Laporan yang tidak rinci, belum pasti, biasanya ditolak oleh penyidik. Dalam kasus ini, nyatanya pelaporan diterima dan bahkan diterbitkan Bukti Laporan Polisi.

Namun jika menilik Tempus Delicti (waktu kejadian perkara), laporan dilakukan pada waktu kejadian tanggal 26 Agustus 2020. Dalam rentang waktu yang mendekati tanggal tersebut, Ust Ismail Yusanto memang sering hadir didalam berbagai diskusi daring via Sosial Media maupun melalui media nasional, membahas film dokumenter berjudul Jejak Khilafah Di Nusantara (JKDN).

Di platform sosial media, pelapor Ayik Heriansyah memang begitu gencar menyerang ajaran Islam Khilafah dan secara khusus menuding film JKDN sebagai propaganda HTI. Misalnya tulisan Ayik Heriansyah berjudul "Kesultanan di Nusantara Bukan Khilafah" yang berusaha mendeligitimasi hubungan Kesultanan Islam di Nusantara dengan Khilafah Turki. 

Ayik juga menulis artikel berjudul 'Bajak Sejarah Nusantara, HTI Produksi Film Propaganda Politik' sebuah tudingan yang tidak berdasar. Sebab, film Jejak Khilafah Di Nusantara bukan diproduksi HTI, Namun oleh Komunitas Literasi Islam dengan Sutradara Nico Pandawa yang ditayangkan di kanal YouTube Khilafah Channel.

*Kedudukan Hukum Khilafah dan HTI*

Berdasarkan asas legalitas, suatu larangan baru bernilai jika larangan itu berdasarkan hukum, yakni diatur dalam sumber hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, jika ada narasi 'Khilafah ajaran atau paham Terlarang', maka narasi ini wajib diperiksa secara hukum.

Berdasarkan Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia merujuk pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan perubahannya, sumber hukum itu terdiri atas:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

Peraturan Daerah Provinsi; dan

6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dari 6 (enam) sumber hukum dan peraturan perundang-undangan tersebut, tidak ada satupun pasal didalamnya yang memuat larangan mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, atau setidaknya menyatakan Khilafah sebagai ajaran atau paham Terlarang. 

Tidak ada satupun pasal Konstitusi UUD 45, TAP MPR, UU atau Perppu, PP, Pepres maupun Perda baik Perda Provinsi maupun Perda Kabupaten atau Kota, yang melarang ajaran Islam Khilafah. Karena itu berdasarkan asas legalitas, tindakan mempersoalkan ajaran Islam khilafah tak memiliki basis legalitas berdasarkan hukum.

Adapun Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang selanjutnya telah disahkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Perppu Nomor 2 tahun 2017 Tentang Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Ormas, didalamnya juga tidak terdapat pasal yang memuat larangan mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, atau setidaknya menyatakan Khilafah sebagai ajaran atau paham Terlarang. Perppu Ormas hanya memuat sejumlah pasal yang diubah untuk menyederhanakan Pencabutan BHP suatu Ormas berdasarkan asas Contrario Actus.

HTI juga tidak pernah ditetapkan atau dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Tidak ada satupun pruduk hukum yang menyebut HTI sebagai Ormas Terlarang, baik yang bersumber dari : 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

Peraturan Daerah Provinsi; dan

6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Satu-satunya produk hukum yang melarang organisasi untuk eksis di Indonesia adalah TAP MPRS Nomor: XXV/MPRS/1966 yang melarang PKI (Partai Komunis Indonesia). Jadi tidak ada satupun produk hukum yang menyatakan HTI sebagai Ormas Terlarang.

Akan halnya putusan PTUN Jakarta yang dikuatkan oleh PTTUN dan Majelis Kasasi MA amar putusan hanya menolak gugatan HTI. Itu artinya, amar putusan pengadilan hanya menguatkan status pencabutan Badan hukum HTI saja berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.

Tidak ada satupun pertimbangan dan amar putusan pengadilan, termasuk diktum Beshicking yang dikeluarkan Menkumham yang menyatakan HTI sebagai Ormas Terlarang.

Pencabutan BHP Ormas dan pengumuman Pembubaran oleh pemerintah itu hanya terkait dengan badan hukumnya. Ketika BHP suatu ormas dicabut maka demi hukum badan hukum ormas tersebut bubar.

Terkait HTI, oleh karena BHP HTI dicabut maka demi hukum BHP HTI bubar. Adapun HTI sebagai entitas ormas, tetap sah dan legal dengan status sebagai Ormas Tak berbadan hukum.

Berdasarkan ketentuan pasal 10 UU Ormas (UU Nomor 17 Tahun 2013), Ormas dapat berbadan hukum juga boleh tak berbadan hukum. Ormas tak berbadan hukum boleh terdaftar dan boleh tidak terdaftar.

Status HTI mirip dengan FPI, bedanya FPI tidak diperpanjang SKT nya oleh Kemendagri sedangkan HTI BHP nya yang dicabut Kemenkumham. Kedua Ormas ini tidak berbadan hukum, tidak memiliki SKT, dan tidak terdaftar. 

Artinya, HTI dan FPI statusnya menjadi ormas tidak terdaftar dan tidak berbadan hukum. Sementara itu, berdasarkan pertimbangan putusan MK Nomor: 82 PUU-IX/2013, terhadap tafsir pasal 10 mengenai Ormas tidak terdaftar, MK menegaskan bahwa :

_"Suatu Ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu. Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi *negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang,* atau negara juga *tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum*,"_

Dengan status tidak terdaftar dan tidak berbadan hukum, FPI dan HTI tetap legal dan anggotanya memiliki hak konstitusional untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagaimana dijamin pasal 28e ayat (3) UUD 45.

*Kasus Pelaporan Ust Ismail Yusanto adalah Kasus Politik Bukan Kasus Hukum*

Mencermati konstruksi hukum pelaporan terhadap Ust Ismail Yusanto, kita patut menduga dan mengambil kesimpulan bahwa kasus ini adalah kasus politik yang meminjam sarana hukum. Kasus ini adalah kelanjutan perseteruan politik antara rezim zalim dengan HTI terkait ajaran Islam khilafah.

Ust Ismail Yusanto sebagaimana umat Islam umumnya, meyakini bahwa Khilafah adalah ajaran Islam. Khilafah adalah kewajiban yang agung, yang menjadi tanggung jawab seluruh kaum muslimin.

Sementara rezim menjajakan Narasi Khilafah sebagai ajaran sesat, pemecah belah persatuan, penyebar bahaya, menumpahkan darah, dan berbagai tuduhan jahat lainnya. Rezim tak cukup puas mencabut BHP HTI secara zalim, namun ingin mengkriminalisasi pengemban dakwah Khilafah dengan target agar dakwah Islam, dakwah syariah dan khilafah, dapat dibungkam dan hilang dari wacana diskusi keumatan.

Pelaporan ini, juga memiliki target agar segenap pengemban dakwah Islam, pengemban dakwah syariah dan khilafah ciut nyali, menepi, dan berhenti dari aktivitas dakwah yang mulia. Rezim mengira, pengemban dakwah bisa ditekan dan ditakut-takuti.

Rezim ingin menggunakan legitimasi hukum, legitimasi proses pidana karena menindaklanjuti laporan, untuk menindak Ust Ismail Yusanto. Padahal laporan itu sebenarnya dikehendaki rezim. Cara-cara lama, yakni kriminalisasi terhadap aktivis dan Ulama sebagaimana yang dialami Habibana Muhammad Rizq Syihab, Ust Alfian Tanjung, Mayjen TNI (purn) Kivlan Zen, dan sederet aktivis lainnya diadopsi dan diterapkan pada kasus Ust Ismail Yusanto.

Padahal, kriminalisasi terhadap aktivis dan Ulama bukan menimbulkan rasa gentar. Bahkan, tindakan zalim ini akan mendapat perlawanan dari umat, perlawanan dari seluruh mujahid Islam yang rindu bertemu janji tuhan-Nya. [].

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "LAPORAN TERHADAP UST ISMAIL YUSANTO ADALAH KONFIRMASI KEKALAHAN INTELEKTUAL REZIM MENGHADAPI NARASI DAKWAH KHILAFAH"

Post a Comment