Kisah Teladan dan Kesederhanaan Haji Agussalim





Sangat bokeh jadi tidak ada tokoh bangsa yang semelarat namun sebahagia Haji Agus Salim. Hatta masih punya rumah di kawasan Menteng. Agus Salim boro-boro punya rumah. Sampai wafat ia tetap berstatus “kontraktor”. Kediamannya berupa rumah sempit di gang sempit pula masih berstatus sewa, ketika sang penghuni, Agus Salim, wafat pada November 1954. Padahal, kurang apa posisi yang pernah ia sandang: salah satu dari sembilan perumus Pembukaan UUD 45, anggota dewan Volksraad, diplomat ulung yang meraih pengakuan internasional pertama bagi RI, dan Menteri Luar Negeri era revolusi itu wafat. Baru setelah itu, beberapa tahun kemudian, anak-anaknya patungan membeli rumah kontrakannya itu demi mengenang sang ayah. Sepanjang hidupnya Agus Salim hidup nomaden, berpindah-pindah dari kontrakan di satu gang ke gang lainnya di berbagai kota.


Di dalam gang sempit itu, berkelok dari jalan utama, menyelusup gang pada perkampungan di sudut kota, di tempat becek, di kawasan kumuh, di sanalah Agus Salim dan istrinya, Zainatun Nahar, menjalani hari-hari mereka. Di Jakarta, pasangan ini pernah tinggal di daerah Tanah Abang, Karet, Petamburan, Jatinegara, di gang-gang Kernolong, Tuapekong, gang Listrik dan masih banyak lagi. Khusus ketika tinggal di gang listrik, menjadi kenangan tersendiri.  Di gang Listrik, justru Haji Agus Salim dan istrinya Zainatun Nahar hidup tanpa listrik gara-gara tak sanggup membayar iuran listrik. 

Salah satu muridnya yang juga diplomat pejuang, Mr. Mohammad Roem mengenang kasur gulung, ruang makan, dapur, dan tempat menerima tamu di kontrakan Haji Agus Salim bersatu dalam satu ruangan besar. Nasi goreng kecap mentega menjadi menu favorit, khususnya ketika keluarga Salim sedang tidak ada makanan lain yang lebih bergizi, dan tidak ada uang. Murid politiknya yang lain, Kasman Singodimedjo, mengagumi kondisi guru besarnya itu sambil mengingat adagiumnya yang menciutkan hati, leiden is lijden, memimpin itu menderita.

Ketua delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, Willem Schermerhorn membuat penilaian pribadi terhadap setiap anggota delegasi lawan untuk ditelisik setiap kelemahan dan kekuatannya. Untuk Salim, ia mencatatnya sebagai sosok negosiator tangguh, pandai bicara dan berdebat. Ia hanya mempunyai satu kelemahan: selama hidupnya melarat. Mungkin nanti akan ada “pendekatan khusus” agar Salim tidak galak-galak amat dalam perundingan. Biar miskin, Salim ternyata tidak pernah mempan disogok, baik terang-terangan maupun secara tersamar. Baginya, jangankan yang haram; yang halal saja belum tentu ia mau.

Perawakannya kecil, doyan merokok, dan sangat cerdas. Setidak-tidaknya Salim mampu berbicara dalam sembilan bahasa. Selera humornya tinggi, dan ia bisa melucu dengan lancar dalam kesembilan bahasa itu.  Haji Agus Salim tidak terlahir sebagai orang papa. Lingkungan keluarganya berada dan ia sempat lama memiliki pekerjaan bergaji besar yang bisa menyenangkan keluarganya secara materi. Ia baru “jatuh miskin” gara-gara “jatuh cinta” kepada HOS Tjokroaminoto. Ditugasi sebagai intel politik, Salim malahan  terjun penuh sebagai pejuang kemerdekaan, 

Di luar dugaaan, Haji Agus Salim di masa muda ternyata sangat tampan (lihat Peraga 4.1). Kalau lahir zaman sekarang, rasa-rasanya mudah baginya untuk menjadi bintang sinetron. Foto ini sangat jarang beredar, sehingga kita terbiasa dengan penampilannya di usia lanjut dengan jenggot panjang yang sering membuatnya diolok-olok lawan politiknya mirip kambing.

Meskipun miskin untuk ukuran orang kebanyakan, Salim sendiri merasa dirinya baik-baik saja. Karenanya, rasa percaya dirinya selalu tinggi, tidak pernah minder atau canggung di lingkungan mana pun. Dalam urusan satu ini Salim mirip BK. Ia bisa berbincang dengan Pangeran Phillip (suami Ratu Inggris) sama nyamannya dengan kalau ia bicara dengan hansip yang di tengah ronda malam mampir ke rumah kontrakannya. Dengan segala keunikannya itu, H Agus Salim dijuluki The Grand Old Man.

Sebagai ulama, Salim dikenal mengedepankan rasionalitas. Misalnya dalam soal berpuasa yang lazimnya mengikuti waktu matahari terbit dan terbenam. Ketika berdiplomasi di  Markas Besar PBB New York, Amerika Serikat, Salim sahur pukul 4 subuh dan berbuka pukul 7 malam seperti kebiasaan di Indonesia dan Jeddah. Padahal sesuai waktu setempat, berbuka seharusnya pada pukul 10 malam karena saat itu musim panas. Ada benarnya, sikap tersebut. Coba, bagaimana kalau kita berpuasa di Skandinavia ketika ada saat tertentu di sana di mana matahari sama sekali tidak tenggelam selama 24 jam?

Salim pernah membuat kesal seorang ulama senior ketika ia bertanya apakah Adam dan Hawa itu punya pusar? Dijawab oleh sang ulama: “Punya. Mereka kan manusia seperti kita.” Dari mana si ulama tahu sampai segituyakinnya? Salim bertanya lagi, “Berarti mereka berdua ada yang melahirkan. Bukankah pusar itu penghubung antara janin dan rahim ibunya, sehingga janin tersebut memperoleh asupan oksigen dan makanan.” Si ulama sok tahu itu terkesiap, lalu mencak-mencak dan mengutuki Salim sebagai ahli bid’ah, murtad, calon penghuni neraka, dan seterusnya.

Dalam urusan ini Salim lagi-lagi mirip BK. Di dekat rumah pengasingan di Ende ada tetangga yang memelihara anjing. Omi menyukai anjing itu dan sering memberinya makan. Suatu ketika kaki Omi dijilat anjing itu. Oleh Bu Amsi, mertua BK, Omi disuruh mencuci kakinya sampai tujuh kali, sekali di antaranya dicampur pasir atau tanah, seperti ajaran orang-orang tua dulu yang mengutip Sunnah Nabi. BK berbisik Omi cukup mencucinya sekali saja dengan sabun sampai bersih. Omi bertanya mengapa tidak tujuh kali seperti kata nini (nenek)? Karena di zaman nini muda dulu belum ada sabun.

Haji Agus Salim lahir dengan nama asli Musyudul Haq (bermakna “pembela kebenaran”) di Koto Gadang, 8 Oktober 1884. Di masa kanak-kanak, keluarganya merekrut pengasuh dari Jawa Timur. Panggilan sayang sekaligus hormat untuk anak laki-laki khas Jawa Timur termasuk Madura adalah “Gus”. Sapaan ini bisa berlanjut sampai yang bersangkutan berusia lanjut, khususnya di kalangan dekat. Contohnya adalah Gus Dur. Sapaan itu yang selalu dipakai sang pengasuh, sampai akhirnya malahan mengaburkan nama aslinya. Teman-teman sekolahnya ikut memanggil “Gus” lalu “Agus”. Karena ayahnya bernama Sutan Mohamad Salim, maka nama Salim ditambahkan sehingga menjadi Agus Salim. Di sekolah pertamanya, ia terdaftar sebagai “August Salim”.

Ia mulai menimba ilmu di sekolah khusus anak-anak Eropa, Europeesche Lagere School(ELS), sekolah dasar paling bergengsi di era kolonial. Ini karena ayahnya adalah seorang jaksa Pengadilan Riau yang terpandang. Bakat istimewanya sejak kecil adalah bahasa-bahasa asing. Ia senang dan cepat sekali menguasai satu bahasa. Pelajaran-pelajaran lain dikuasainya dengan mudah karena logika berpikirnya sangat tajam. Begitu lulus pada 1897, ia melanjutkan studinya ke Hogere Burger School(HBS) di Batavia. Lulus dari HBS dengan nilai tertinggi saat berumur 19 tahun, Agus Salim mengajukan beasiswa untuk belajar kedokteran di Belanda, tapi ditolak. R.A. Kartini yang telah memperoleh persetujuan beasiswa sebesar 4.800 gulden tapi batal berangkat karena hendak menikah, berusaha melobi pemerintah agar dana itu dapat digunakan Salim. Ditolak lagi, Kartini terus membelanya dengan mengajukan permohonan ulang. Prosesnya panjang tapi pada akhirnya disetujui. Hanya saja, Salim terlanjur ngambek,dan ia memutuskan untuk bekerja saja.

Pekerjaan pertamanya sudah memberikan kesejahteraan memadai, yakni sebagai penerjemah dan asisten notaris di sebuah perusahaan pertambangan di Indragiri. Selanjutnya pada 1906, ia terbang ke Jeddah untuk menjadi penerjemah dan petugas urusan haji di Konsulat Belanda. Atasannya Konsul N. Scheltema, adalah mantan controleur (semacam Inspektur Pemeriksa Wilayah, jabatan setingkat bupati) di kota Wlingi, Jawa Timur. Salim sering terlibat adu argumen dengan atasannya ini. Meskipun begitu, semua pekerjaan dan tugas yang diberikan kepadanya selalu beres, jadi sama sekali tidak ada alasan untuk mengatakannya sebagai pemalas lalu memecatnya. Ia tidak dapat dicap sebagai ongeschikt(tidak berguna). Bahkan ia diakui mampu meringankan beban atasannya, dan ia  dihargai sebagai asisten yang bermanfaat. Cuma, karena sering ngeyel, sang Konsul suka sebal.

Dalam sebuah kesempatan bertukar pikiran yang panas antara Salim dengan atasannya, Konsul Belanda itu menyindir: “Salim, apakah engkau kira bahwa engkau ini seorang yang paling pintar di dunia?” Sindiran yang tidak perlu dijawab ini malahan dengan tangkas ditanggapi oleh Haji Agus Salim: “Itu sama sekali tidak benar, meneer. Banyak orang yang lebih pintar dari saya, cuma saya belum bertemu dengan seorang pun di antara mereka di sini.” Si Konsul tambah sebal. Tetapi apa mau dikata, ia tidak pernah menang debat. Oleh karena itu, alangkah lega hati sang Konsul Belanda saat ia tahu Salim ditarik pemerintah Hindia Belanda untuk ditempatkan di Surabaya pada tahun 1911.

Selama bermukim di Jeddah, Salim memperdalam ilmu agama Islam, ketrampilan diplomatik dan sejumlah bahasa asing di luar Belanda dan Inggris yang sudah ia kuasai. Dengan cepat ia menguasai bahasa-bahasa, Jerman, Prancis, Turki, Jepang, dan Arab. Di sana ia menunaikan ibadah haji. Gajinya sekitar 200 gulden, sangat besar di masa itu. Pendeknya, ia sudah hidup cukup enak. Ia bahkan bisa jalan-jalan ke Eropa, terutama Belanda di mana ia pernah menengok Bung Hatta muda yang tengah kuliah di sana. Kondisi ini berlanjut sampai pemerintah kolonial meminta bantuannya menginfiltrasi SDI, sebuah organisasi pribumi di Hindia Belanda yang menunjukkan gelagat menentang pemerintah.

Didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh H. Samanhudi di Solo, Sarekat Dagang Islam (SDI) awalnya dimaksudkan untuk membantu para pedagang batik pribumi bersaing dengan para pedagang Tionghoa. SDI sangat mudah diterima oleh masyarakat pedesaan dan mengalami perkembangan pesat. Kian besar, kian berpengaruh pula SDI, sehingga mulai merambah urusan-urusan politik. Selain H Samanhudi, ada tokoh penting lainnya, yakni  RM Tirtoadisuryo. Pada tahun 1909 Tirtoadisuryo mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia, disusul Sarekat Dagang Islam di Bogor pada 1911. Hubungannya dengan H Samanhudi kurang baik akibat persaingan pengaruh. Samanhudi merasa pelopor SDI karena ia lebih dulu mendirikannya di Solo; sementara Tirtoadisuryo merasa dirinyalah pimpinan SDI karena organisasi bentukannya lebih besar. Hubungan keduanya benar-benar rusak ketika Tirtoadisuryo menolak permintaan Samanhudi membantunya mengembangkan SDI Solo.

H Samanhudi mencari orang lain untuk membangun organisasi, dan pilihannya jatuh kepada HOS Tjokroaminoto yang ketika itu anggota perkumpulan Budi Utomo. Di tahun 1912 Tjokroaminoto mengubah SDI menjadi Sarekat Islam (SI). Urusannya tidak melulu ekonomi, melainkan sosial dan…. politik. Perkembangannya sangat pesat karena yang dirangkul bukan cuma para pedagang lagi, melainkan semua elemen masyarakat pribumi termasuk kalangan yang semula tak dilirik organisasi mana pun, yakni kaum tani dan buruh yang jumlahnya sangat banyak. 

Tjokroaminoto mampu memikat hati rakyat kebanyakan berkat sikapnya yang anti feodalisme. Ia jago pidato dengan sosok gagah lengkap dengan kumis melintang bak Bima. Tjokroaminoto sangat rajin bertemu langsung dengan rakyat hingga ke berbagai pelosok sehingga ia diterima, diakui dan bahkan dicintai sebagai pemimpin rakyat orisinal dengan julukan “Yang Utama”. Ciri-ciri ini nantinya dimiliki salah seorang muridnya, Soekarno bin Soekemi Sosrodihardjo. Sebagai tokoh agama dan kebathinan ketika Soekarno masih bersekolah di HBS ia sudah memperoleh ilham betapa pemuda itu akan memainkan peran sangat besar dalam sejarah bangsanya.

Tjokroaminoto kemudian menggantikan Samanhudi sebagai pemimpin tertinggi SI, dan memindahkan pusat kegiatan ke Surabaya. Gubernur Jenderal AWF Idenburg mulai menaruh curiga terhadap SI dan Tjokroaminoto, sehingga keluarlah perintah agar SI diawasi dengan ketat, terutama agar tidak berkembang menjadi gerakan politik subversif. Keadaan dan kondisi ekonomi yang buruk secara umum setelah Perang Dunia I telah mempercepat radikalisasi pergerakan kebangsaan Indonesia.  

Untuk mengatasinya, pemerintah kolonial mendirikan dinas intelijen politik pada 6 Mei 1916 yang diberi nama Politieke Inlichtingen Dienst (PID)yang kemudian diambil alih militer. Pada 24 September 1919, Gubernur Jenderal memutuskan untuk memakai kepolisian sebagai alat penindas gerakan radikal. Ia pun membentuk dinas intelijen baru dengan nama Algemene Recherche Dienst (ARD) atau Dinas Penyelidikan Umum. ARD dan PID ini yang menjadi musuh utama para pejuang pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan.

Jauh sebelumnya untuk mengawasi Sarekat Islam, ARD melakukan strategi infiltrasi ke dalam tubuh organisasi dengan menyusupkan agen-agennya untuk mengawasi organisasi ini dari dalam. Pemerintah Hindia Belanda ingin memata-matai mereka dan memerlukan seorang “Snouck Hurgronje” baru. Datuk Tumenggung penasihat urusan bumiputera (adviseur voor inlandse zaken)mengusulkan nama Salim untuk tugas itu,

Haji Agus Salim menerima tawaran itu karena diberitakan Tjokroaminoto berniat menjual Sarekat Islam kepada Jerman yang akan membiayainya untuk melakukan pemberontakan di Jawa. Jika itu benar, maka ia akan menyeret Hindia Belanda ke dalam pertikaian antara negara-negara besar dunia. Alasan kedua, ia sudah rindu tanah air. Dengan cara-cara tidak langsung, mula-mula ia mempelajari seluk beluk Sarekat Islam baik mengenai asas, tujuan, anggaran dasar, anggaran rumah tangga sampai sikap para pemimpinnya. Kesimpulan penyelidikannya, tuduhan terhadap Tjokroaminoto dan SI tidak terbukti sama sekali. Ia melihat sosok Tjokroaminoto merupakan seorang pemimpin yang sejati. 

Salim justru terpikat dengan sosok Tjokroaminoto sehingga memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai agen intelijen dan pegawai Pemerintah Hindia Belanda. Ia masuk ke dalam organisasi Sarekat Islam. Ketika Haji Agus Salim menyatakan bergabung dengan Sarekat Islam, di saat itu pula secara bertahap Salim mulai menjalani kehidupan ekonomi yang serba terbatas. Perubahan drastis gaya hidup diterima secara biasa saja oleh Salim. Tinggal di apartemen serba bagus dan di kontrakan kumuh dan becek, hampir sama saja baginya. 

Tjokroaminoto merasa senang dan sangat gembira menerimanya, karena Haji Agus Salim merupakan salah seorang yang paling berpendidikan dan paling pandai yang pernah masuk dalam Sarekat Islam. Dalam diri Haji Agus Salim terdapat kombinasi antara ketaatan pada pokok ajaran Islam dengan pandangan yang progresif pada masalah-masalah sosial dan ekonomi, dan juga seorang realis dalam memandang tujuan dan potensi masa depan bangsa Indonesia. SI menjadi ajang bagi Haji Agus Salim untuk menempa diri. 

Karena SI tidak menawarkan gaji, Salim mencari pekerjaan sampingan. Di tahun 1915 ia bergabung ke Harian Neratja sebagai redaktur, sebelum diangkat menjadi kepala redaksi. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Ia juga mendirikan Surat kabar Fadjar Asia. Selanjutnya ia menjadi redaktur harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). 

Di sela-sela kesibukannya Salim menikahi Zainatun Nahar yang sudah dinikahinya secara gantung sebelum ia berangkat ke Jeddah (mungkin ini alasan ketiga Salim mau dijadikan intel). Pernikahan ini memberinya 10 anak (2 meninggal saat kecil). Sama halnya dengan Bung Hatta dan Rahmi, Zainatun adalah jodoh sejati Salim yang mendampinginya dalam kondisi apa pun tanpa mengeluh. Ia adalah sosok istri pilihan yang tahan banting dan senantiasa menjadi sumber semangat bagi suami dan anak-anaknya. Rumah tangga Salim dikenal harmonis, dan selalu riang meskipun tidak punya banyak uang.

Ketika menulis di berbagai media, Salim terampil merangkai kata-kata untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Di harian Neratja terbitan 25 September 1917, ia menulis: “Dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang.” Tulisan ini untuk mengkritik kebijakan Belanda yang mendiskriminasi masyarakat pribumi, sekaligus mengecam penjajahan itu sendiri. Di harian Fadjar Asia, 29 November 1927, ia menulis tentang polisi: “Sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad(pengadilan) yang mencabut pengakuan di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa …”

Sejak bergabungnya Salim ciri ke-Islam-an SI menguat, Dalam waktu bersamaan masuk pula anasir-anasir kiri (pengikut Henk Sneevliet, si pembawa komunisme ke Hindia Belanda) yang kebanyakan justru anak didik terdekat Tjokroaminoto sendiri, khususnya Semaun. Semaun menganjurkan agar SI bergerak lebih radikal dan menentang partisipasi SI dalam Volksraadyang mereka nilai tak lebih dari “komidi omong”. Mereka mengincar tokoh Islam seperti Haji Agus Salim dan Abdul Moies sebagai musuh. Pada kongres pengurus SI di Surabaya 6-10 Oktober 1921, terjadi pertentangan sengit antara dua kubu. Ujungnya, dengan suara 23 lawan 7 suara, golongan komunis dikeluarkan dari SI. Mereka lantas membentuk SI tandingan (SI Merah) yang selanjutnya berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia.

Agitasi para tokoh kiri bisa dihadapi secara cerdas oleh Salim. Dalam sebuah sidang, Muso mengejek gurunya sendiri, Tjokroaminoto, yang berkumis seperti kucing, dan Agus Salim yang berjenggot mirip kambing. Muso berteriak kepada hadirin: “Saudara-saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa? “Kambing!” jawab hadirin. “Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa? “Kucing!” Begitu giliran Salim berpidato, ia membalas: “Saudara-saudara, pertanyaan yang tadi belum lengkap. Orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?” Salim menjawab sendiri: “Anjing!”

Dalam suatu pertemuan SI, setiap akhir kalimat yang disampaikan Agus Salim, selalu disambut oleh para peserta dengan sahutan “mbek, mbek, mbek”. Itu untuk mengejek janggutnya yang panjang seperti janggut kambing. Salim dengan entengnya menukas, “Tunggu sebentar. Sungguh menyenangkan, kambing-kambing pun mendatangi ruangan ini untuk mendengar pidato saya. Sayang mereka kurang mengerti bahasa manusia, sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Saya sarankan kepada mereka agar keluar ruangan sekadar makan rumput di lapangan. Kalau pidato saya untuk manusia ini selesai, mereka akan disilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing untuk mereka.”

Pada 1927, Agus Salim mendapat undangan mengikuti sebuah kongres Islam di Mekkah. Waktu itu pemerintah kolonial Belanda yang masih kesal atas pembelotannya mempersulit Salim memperoleh paspor. Setelah berupaya keras, akhirnya ia berhasil memperoleh paspor itu di Surabaya. Sayangnya, kapal yang akan ke Arab Saudi, kapal Kongsi Tiga, sudah berangkat ke Batavia, Salim takkan dapat mengejarnya karena perjalanan dari Surabaya ke Jakarta memakan waktu cukup lama. Mengetahui hal itu, HOS Tjokroaminoto mengirim telegram ke perwakilan Kongsi Tiga di Jakarta. Isinya: Jika kapal itu berangkat ke Mekkah tanpa Agus Salim, maka tahun depan tidak ada seorang pun jamaah haji yang berangkat dengan kapal Kongsi Tiga. Kapten kapal pun terpaksa menunda keberangkatan selama 2×24 jam hanya untuk menunggu Salim yang buru-buru ke Jakarta menggunakan kereta api.

Ketika Salim tiba di Tanjung Priok, ia disambut dengan upacara kehormatan oleh awak kapal. Mereka berbaris rapi di sepanjang jalan menuju pintu masuk. Ketika Agus Salim lewat, mereka memberinya hormat. Setelah di kapal, Salim bertanya kepada sang kapten, “Mengapa saya disambut dengan cara seperti itu? Bukankah saya hanya orang biasa?” Dengan agak jengkel si kapten menjawab: “Kapal ini tidak akan menunda keberangkatannya selama 2×24 jam hanya untuk menunggu orang biasa!”

Pada awal abad ke-20, ada sejumlah perubahan penting dalam kebijakan pemerintah kolonial yang dikenal dengan “Politik Etis” yang dicetuskan oleh Ratu Wilhelmina dalam pidatonya pada tahun 1901 atas desakan parlemen yang disponsori oleh Conrad Theodore van Deventer. Pelaksanaan politik etis ini berpedoman pada tiga prinsip yaitu irigasi, migrasi dan edukasi. Dari Ketiga prinsip tersebut, politik etis bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran penduduk pribumi dengan memberikan pendidikan seluas mungkin. 

Sejak saat itu dimulailah pembangunan berskala cukup besar di Hindia Belanda. Salah satunya yang kemudian sangat berpengaruh dalam sejarah adalah pembukaan sekolah mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Tiga perguruan tinggi menjadi mashur karena melahirkan generasi terdidik yang menjadi tulang punggung pergerakan kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan, yakni STOVIA, TH dan RH.

Pemerintah Hindia Belanda juga mengadakan serangkaian perubahan sistem pemerintahan di Hindia Belanda. Salah satunya dengan dikeluarkannya undang-undang desentralisasi tahun 1903. UU ini membuka peluang dan wewenang kepada keresidenan mengelola diri sendiri, termasuk pembentukan dewan daerah. Pelaksanaannya mengecewakan pihak bumiputera, karena mayoritas anggota dewan daerah terdiri atas pejabat-pejabat Belanda dan orang-orang Barat lainnya yang diangkat oleh pemerintah. Partisipasi pihak bumiputera dalam dewan daerah masih kecil.

Perubahan terpenting terjadi tahun 1916, ketika parlemen Belanda mengesahkan UU Dewan Rakyat atau Volksraad. Pada tanggal 18 Mei 1918 dewan rakyat pertama diresmikan oleh Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum. Pembentukan Volksraadternyata juga dimaksudkan menampung radikalisme HOS Tjokroaminoto dengan mengajaknya bekerja sama. Awalnya Tjokroaminoto, Salim dan Moeis mendukung dan bergantian mewakili SI sebagai anggota Volksraad.Sikap kooperatif ini luntur ketika tidak ada kemajuan berarti di sana dan ditangkapnya Tjokroaminoto pada Agustus 1921 karena dituduh terlibat dalam pemberontakan di Garut oleh kelompok bawah tanah yang mengatasnamakan SI. 

Selama menjadi anggota Volksraad,,Salim mencetak reputasi sebagai jago debat. Dalam buku kasiknya yang berjudulNationalism and Revolution in Indonesia, George McTurnan Kahin menuturkan perdebatan antara H Agus Salim melawan J. Bergmeyer.  Salim mulai “panas” ketika tak diperkenankan berpidato dalam Bahasa Melayu, dan harus menggunakan bahasa Belanda. Salim yang fasih berbahasa Belanda menolak, karena ia merasa punya hak bicara dalam bahasa Melayu. Saat itu Bergmeyer cari gara-gara dengan menginterupsi: “Apa kata ekonomi itu dalam Bahasa Melayu?” Salim membalas: “Coba Tuan sebutkan dahulu apa kata ekonomi itu dalam Bahasa Belanda, nanti saya akan sebutkan Bahasa Melayunya.” Karena memang tak ada istilah khusus dalam Bahasa Belanda (dan Bahasa Melayu) untuk menyebut “ekonomi”,  Bergmeyer pun mak klakep terdiam.

Kiprah politik Salim berlanjut di Jong Islamieten Bond (JIB). Selain bergerak di jalur politik, Agus Salim juga seorang jurnalis. Ia antara lain sempat berkiprah bersama Harian Neratja, Hindia Baroe, dan mendirikan surat kabar Fadjar Asia. Haji Agus Salim bergabung ke jajaran Bapak Bangsa ketika terpilih sebagai salah seorang anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia bahkan termasuk dalam Panitia Sembilan, tim kecil perumus Pembukaan UUD RI. Secara terpisah, karena cita bahasanya yang halus, Salim bersama Prof Pangeran Aria Husein Djajadiningrat dan Mr Soepomo juga diminta menjadi penghalus bahasa dalam penyusunan batang tubuh UUD 1945.

Setelah Indonesia merdeka, karena kompetensinya, Agus Salim sempat dipercaya menjabat menteri dalam beberapa kabinet. Di Kabinet Sjahrir I dan II, Agus Salim adalah menteri muda luar negeri. Sementara itu, di Kabinet Amir Sjarifuddin (1947) dan Kabinet Hatta (1948–1949), ia menjabat menteri luar negeri. Salim dikenal sebagai sosok yang jujur dan tidak pernah minta macam-macam. Ia disukai dan dituakan oleh para politisi lainnya, termasuk oleh Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Hatta yang juga jago debat pun mengaku segan kalau harus bersilat lidah melawan Haji Agus Salim.

Pada tahun 1947, ia menjadi penasehat tim perundingan Linggarjati; di tahun yang sama ia bersama Sutan Sjahrir menjadi wakil Indonesia dalam Konferensi Inter-Asia di New Delhi. Misi diplomatik ini sukses. Sjahrir dan Salim mengikat janji dengan Pandit Jawaharlal Nehru (Bapak India) dan Muhammad Ali Jinnah (Bapak Pakistan) untuk saling mendukung kemerdekaan masing-masing.

Manuver diplomasi RI ditanggapi Belanda dengan Agresi Militer I. Belanda menuduh dengan melakukan manuver diplomasi itu, RI sudah menyalahi Perjanjian Linggarjati. RI membalas dengan menggencarkan misi diplomatik. Selanjutnya Haji Agus Salim selaku menteri luar negeri memimpin delegasi Indonesia ke Timur Tengah untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Berkait kepiawaiannya berbahasa Arab dan adab Islamnya yang mengesankan, Indonesia berhasil memperoleh pengakuan formal dan dukungan moral kemerdekaan dari Mesir (10 Juni 1947), Lebanon (29 Juni 1947), dan Suriah (2 Juli 1947). 

Ini adalah prestasi besar, karena merupakan pengakuan de jure pertama dari masyarakat internasional bagi eksistensi Republik Indonesia sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat.  Pengakuan ini terasa kian berharga kalau diingat saat itu Indonesia terikat dengan Perjanjian Linggarjati yang hanya mengakui Sumatera, Jawa dan Madura sebagai wilayahnya. Pengakuan Mesir berlaku untuk wilayah Indonesia yang meliputi semua bekas Hindia Belanda. Mesir tidak berubah sikap sekalipun diprotes habis-habisan oleh Belanda.

Selanjutnya Agus Salim kembali mendampingi Sutan Sjahrir, dalam sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, Amerika Serikat. Kelanjutan Linggarjati macet karena Belanda menolak berunding sebagai protes terhadap manuver diplomatik RI. Misi ke PBB sukses karena PBB atas dukungan Amerika Serikat membentuk Komisi Jasa Baik yang bisa memaksa Belanda duduk kembali di meja perundingan. Dalam proses ini Amerika Serikat bersikap tegas kepada Belanda karena kesal. Pengucuran pertama dana Marshall Plan  yang dimaksudkan untuk membangun kembali Eropa pasca Perang Dunia Kedua, justru digunakan Belanda untuk membiayai aksi-aksi militernya di Indonesia.

Sedikit catatan untuk tim delegasi RI saat itu. Kita sudah tahu anggota delegasi seperti Sumitro Djojohadikusumo dan Sudjatmoko (mantan rektor PBB, adik ipar Sjahrir). Tapi mungkin belum banyak yang pernah mendengar nama Charles Tambu. Sebenarnya ia bukan orang atau warga negara Indonesia. Ia berdarah Tamil dan warga negara Ceylon (Sri Lanka, setelah merdeka dari Inggris). Tapi sejak muda ia sudah jatuh cinta kepada Indonesia, dan ikut berjuang di berbagai kesempatan dan forum internasional. Bung Karno menyambut hangat kehadirannya dengan menghadiahkan paspor Indonesia hanya beberapa saat sebelum misi diplomatik Sjahrir dilancarkan. Ia sempat menjadi Konsul Jenderal Indonesia di Manila periode 1949-1953. Kecintaannya terhadap Indonesia tidak pernah redup dalam situasi susah. Ketika di Manila, ia dan istrinya harus mondok di rumah seorang tukang cukur kenalannya. Itulah “Wisma Indonesia” pertama di Manila. Ketika hendak menghadap Presiden Filipina, ia harus meminjam jas tukang cukur itu. Gajinya US$ 6 per minggu. Suatu ketika kas sang diplomat tinggal 20 sen. Ia membeli beberapa buah apel. Dengan apel dan air ledeng, sang  diplomat dan nyonya bertahan hidup selama tiga hari.

Dalam Perjanjian Renville, Agus Salim kembali diutus untuk berunding dengan Belanda, mendampingi Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamijoyo, Mohammad Roem,  Ir. Djuanda, dr. Jo Leimena dan Mr Johannes Latuharhary. Dalam perundingan tersebut sejak awal Salim sudah merasa perundingan itu tidak ada gunanya, karena ia menduga Belanda sudah memutuskan untuk menempuh jalur militer guna merebut kembali jajahannya. Salim pun mengingatkan Belanda: “Pengakuan penuh negara-negara Timur Tengah itu akibat anda mengerahkan kekuatan militer. Kerahkan lagi kekuatan militer yang lebih besar, maka kami akan memperoleh pengakuan penuh dari seluruh dunia.”  

Belanda mengabaikan peringatan itu, dan ternyata Salim terbukti benar. Burma, India, Pakistan yang baru merdeka, dan banyak negara lain sontak memprotes Agresi Militer II, sekaligus menyusul Mesir, Lebanon dan Suriah dalam memberikan pengakuan de jure penuh kepada Republik Indonesia. Negara-negara Sekutu lambat laun terpaksa melakukan langkah serupa atau mereka akan mengalami kesulitan berurusan dengan bekas jajahannya, sehingga akhirnya Belanda pun melakukan hal serupa melalui KMB. Andaikan Belanda mendengarkan peringatan Salim, ceritanya mungkin akan berbeda.

Semasa menjadi diplomat banyak beredar cerita menarik tentang Salim. Dalam berbagai acara resepsi diplomatik, keberadaan Salim mudah dibedakan dari kebanyakan. Selain lebih pendek, dandanannya pun sungguh kontras. Bila para diplomat lain berpenampilan serba necis, ia justru mengenakan jas usang berhiaskan jahitan dan tisikan di sana-sini. Untung para ibu di zaman itu rata-rata mahir menjahit, sehingga tidak terlalu kentara. Pembeda lain, ia selalu bak lokomotif kereta api jaman rekiplik yang  mengepulkan asap di mana-mana.  

Jika ada sisa uang belanja dari istrinya, biasanya uang itu habis untuk membeli… rokok. Dalam berbagai acara resmi Salim santai saja menikmati rokok kretek yang asapnya membuat kebanyakan orang Eropa terasa menyengat. Suatu ketika Pangeran Phillip dari Inggris yang mungkin merasa terganggu bertanya apa yang dihisap Salim. Salim menjawab, “Ini tuan, adalah benda yang membuat tuan-tuan datang dan menjajah negeri kami. Cengkeh.” Phillip yang tadinya hendak menegur jadi tidak enak sendiri.

Dalam sebuah acara makan malam Salim memilih menyantap hidangan dengan tangannya langsung. Seorang Eropa terkesima dengan tindakannya dan bertanya “Bukankah itu tidak higienis? Mengapa Anda makan menggunakan tangan, padahal sudah ada sendok dan garpu.” Salim lantas menjawab: ”Saya menyuap dengan tangan sendiri untuk masuk ke mulut saya. Sedangkan sendok yang tuan-tuan pakai pernah masuk ke mulut banyak orang. Jadi, ini lebih higienis,”  katanya sambil menunjukkan tangannya yang berlepotan makanan.

Kepiawaian Salim dalam menguasai bahasa asing, dikisahkan pula oleh seorang Indonesianis AS, Prof George McTurnan Kahin. Suatu hari Kahin mengundang Salim dan Ngo Dinh Diem (pernah menjadi perdana menteri Vietnam Selatan) makan di ruang dosen Cornell University. Ketika itu ia diminta sebagai pembicara tamu di universitas tersebut, sedangkan Diem sedang mengumpulkan dukungan bagi Vietnam Selatan. Melihat keduanya berdebat seru dalam Bahasa Perancis, Kahin begitu terperangah. Kalau Diem yang bangsawan dan pernah sekolah di Paris serta negaranya lama dijajah Perancis, ia tidak heran; namun ia baru tahu Salim demikian fasih bicara dalam bahasa itu. Lebih terperangah lagi ketika ia melihat Diem berulang kali terpesona  mendengarkan kata-kata Agus Salim.

Satu hal lagi yang mempertebal kenyentrikan Haji Agus Salim adalah ia mendidik sendiri anak-anaknya di rumah, tidak mengirimkan mereka ke sekolah. Ini bukan mau ngirit, tapi Salim tidak percaya sekolah di zaman kolonial mampu memberikan pendidikan yang paling dibutuhkan. Dari 8 anak, semuanya dididik sendiri bersama istrinya, kecuali anak bungsunya ketika usia Salim sudah terlalu lanjut dan Indonesia sudah merdeka. Pendidikan keluarga Salim biasanya berlangsung sambil bermain atau ketika sedang makan. 

Menurut anak ke-8, Siti Asiah atau yang akrab disapa Bibsy, paatjedan maatje(panggilan sayang anak-anak Salim untuk ayah-ibunya) sering menyanyikan lagu-lagu yang liriknya diambil dari karya para sastrawan dunia. Selain itu ayahnya juga pandai melucu sehingga bisa memikat dan tak membosankan. Untuk melatih kemampuan berbahasa, sedari kecil mereka telah mengajak anak-anak berbicara Bahasa Belanda, sehingga bahasa itu ibarat bahasa ibu mereka. Ketika ada teman yang menegur karena Salim dianggap meremehkan sekolah formal, Salim memanggil salah satu putrinya dan disuruhnya mengobrol dengan dalam bahasa Belanda.Teman Salim itu kalah.

Pendidikan home schoolingala Agus Salim tak semata-mata dimaksudkan membuat anak pintar, namun juga memperhatikan pertumbuhan jiwa mereka. Ia bersama istrinya, tak menginginkan anak-anak terkekang oleh kehendak orang tua. Oleh karenanya, ia pantang memberi kualifikasi seperti “kamu nakal” atau “kamu jahat” kepada anak-anaknya. Meski tak mengenyam pendidikan formal, namun anak-anak Salim bisa tumbuh dan “jadi orang”. 

Salah satu putranya, Islam Besari Salim, menjadi perwira pejuang gerilya di Sumatera dan menjadi petugas penghubung penting di masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Terakhir ia pernah menjadi atase militer di KBRI Peking (sekarang Beijing). Ketika W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biola pada acara akbar Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928, putri sulung Agus Salim, Theodora Atia yang biasa disapa Dolly, pada usia usia 15 tahun, mengiringinya dengan piano. 

Salim dan istrinya adalah vegetarian. Lagi-lagi bukan untuk ngirit,tapi karena keduanya masih ada ikatan keluarga. Dari bacaannya Salim tahu anak-anak dari suami-istri yang masih berkerabat ada kemungkinan mengalami kelainan atau gampang sakit-sakitan. Tapi itu bisa dicegah kalau suami-istri tersebut tidak makan daging. Demi memperoleh anak-anak yang sehat, keduanya bertekad menjauhi daging. Kebiasaan itu melekat pula pada semua anak. Hubungan keduanya harmonis, tidak pernah ada pertengkaran besar. Tampaknya, ini yang membuat Haji Agus Salim selalu merasa baik-baik saja meskipun kantungnya kosong.

Hubungan keduanya awet mesra, tidak cuma di masa muda, tapi berlanjut terus sampai di masa senja. Kalau tidak mesra, masak iya, anaknya sampai 10 orang. Perlu diketahui anak bungsu lahir ketika jumlah usia keduanya pas 100 tahun. Salim berusia 55 tahun, dan sang istri 45 tahun. Kurang bukti apa kalau keduanya selalu mesra? Lagi-lagi ini nampaknya yang menjadi alasan mengapa Pak dan Bu Salim selalu bahagia, tidak perduli seperti apa kondisi dompet keduanya.

Sikap ikhlas sang ibu menular ke anak-anaknya. Mereka tidak menaruh keberatan sering berpindah-pindah, bahkan pernah lebih dari sekali dalam sebulan. Mereka menganggap semua rumah baik, asalkan mereka bisa berkumpul dan rukun. Soal makan mereka tidak pernah rewel. Kalau sudah ada nasi hangat, maka beberapa tetes kecap, sesendok mentega atau susu kental manis sudah cukup sebagai lauk.

Kadang sikap praktis Salim “agak keterlaluan”. Ketika salah satu putranya meninggal saat masih bayi, Salim tidak punya uang untuk sekedar membeli kain kafan. Salim pun memakai taplak meja dan seprei sebagai kain kafan. Ketika para kerabatnya menegur dan menawarkan bantuan, Salim menampik: “Tidak apa-apa. Simpan saja uang itu untuk yang masih hidup dan memerlukan. Ini cukup. Anak saya ini tidak memerlukan  apa-apa lagi.”

Seperti telah disinggung di atas, ketika menjadi aktivis SI, Salim pernah menjabat pemimpin redaksi “Hindia Baroe”, koran yang dimiliki beberapa pengusaha Belanda. Melalui koran ini, ia sering mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang tidak prorakyat. Oleh pemiliknya, Salim diminta untuk tidak terlalu keras mengkritik pemerintah. Namun permintaan itu malah dijawabnya dengan pengunduran diri. Karena ingin hidup bebas dan idealis, Salim sering tak mempunyai pendapatan tetap, karena itu dompetnya lebih sering kosong daripada berisi. Akibatnya ia kerap berpindah-pindah rumah, dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya. 

Mr. Mohammad Roem yang menjadi penerusnya sebagai menteri luar negeri suatu ketika bertandang ke rumah Salim. Ia menceritakan dengan perasaan tidak percaya, bahwa rumahnya di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, berada di kawasan kumuh dan becek. Ia juga pernah tinggal di Jatinegara, di mana keluarga H Agus Salim hanya menempati satu ruangan. Di rumah itu, Roem melihat koper-koper bertumpuk di pinggir ruang dan beberapa kasur digulung. Meski sudah menjabat sebagai menteri luar negeri, Salim dan keluarganya masih tinggal di rumah kontrakan. 

Kebanyakan rumah yang dikontrak oleh Agus Salim pun tidaklah luas dan nyaman. Demi mengubah suasana, setiap enam bulan sekali, Agus Salim menyusun ulang tata letak meja-kursi, lemari, hingga tempat tidur. Dengan melakukan itu, ia merasa mengubah lingkungan tanpa perlu pindah ke tempat lain.  Tak jarang pula, rumah yang ditempatinya itu bocor di mana-mana. Meski demikian, keluarga H. Agus Salim tak mengeluh. Mereka selalu mengedepankan syukur. Bagi mereka, rumah yang bocor justru dirasakan sebagai suka cita yang dapat menciptakan keasyikan bersama. Bila hujan tiba dan atap bocor, Zainatun Nahar, istri Agus Salim, bergegas menaruh ember-ember di tempat-tempat yang bocor. Ia lalu mengajak anak-anak mereka yang masih kecil membuat perahu dari kertas, dan asyik-lah mereka bermain perahu bersama.

H. Agus Salim sebagai menteri seharusnya berhak mendapatkan sebuah rumah di Menteng. Perumahan Menteng sejak dulu adalah kawasan elite yang hanya dihuni para pejabat tinggi dan pengusaha besar Belanda. Tidak ada orang Indonesia yang tinggal di sana di masa kolonial. Di masa Jepang kawasan yang kosong ditinggal kabur penghuninya itu diambil alih untuk para pembesar militer Jepang dan beberapa di antaranya diberikan kepada para tokoh Indonesia, termasuk Bung Karno yang kebagian rumah besar di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, lokasi pembacaan proklamasi. 

Setelah KMB, kompleks itu dikuasai Sekretariat Negara yang membagikannya untuk rumah dinas para pejabat tinggi. Karena kebanyakan belum punya rumah sendiri, biasanya rumah dinas itu kemudian dihadiahkan negara untuk para pejabat tinggi yang menghuninya. Saat ini, keistimewaan hadiah rumah dari negara hanya diberikan kepada para mantan presiden.

Bung Karno pernah membantu menyediakan sebuah rumah di Kebayoran untuk Salim. Rumah itu lantas ditempati putra Salim yang sudah menikah. Tapi karena sering kebanjiran, rumah itu lalu dijual, dan oleh Salim uangnya dibagi rata ke anak-anaknya dan sebagian disedekahkan. Salim sendiri seumur-umur menikmati statusnya sebagai “kontraktor”.

Watak riang menjadikan kehadiran Salim mencerahkan suasana. Suasana debat panas akan reda jika ada Salim. Apalagi kalau lelucon-leluconnya mulai keluar. Konon, kalau soal lelucon, Salim bisa menjadi pesaing berat Gus Dur. Satu ilustrasi, Di atas Kapal Perang Amerika USS Renville, Haji Agus Salim bertindak sebagai anggota delegasi dalam perundingan dengan Pihak Belanda dalam perundingan yang kelak disebut sebagai perundingan Renville. Haji Agus Salim kehausan, ia meminta air minum kepada pelayan wanita di kapal itu. “Hampir saja saya pingsan karena kehausan,” kata Agus Salim setelah disuguhkan segelas air oleh pelayan. “Jangan khawatir tuan, kalau tuan pingsan, pasti nanti saya peluk,” ujar si pelayan wanita mencoba bercanda dengan Agus Salim. “Kalau sudah pingsan, buat apa saya dipeluk,” jawab Agus Salim membuat si pelayan tersipu..

Usia lanjut mendorong Salim beristirahat dari dunia politik praktis dan pemerintahan pada tahun 1953. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah penasihat Kementerian Luar Negeri. Begitu pensiun Salim mengajak sang istri tetirah di Ithaca Amerika Serikat selama enam bulan atas undangan Cornell University yang diatur oleh sobat lamanya, Prof Kahin. Di sana Salim menjadi tokoh populer dan sempat pula bertemu dengan sejumlah tokoh seperti istri mendiang Presiden AS, FD Roosevelt, yakni Eleanor Roosevelt.

Sepulangnya ke tanah air, di masa pensiun Salim sempat membuat sejumlah tulisan, sampai ia jatuh sakit. Tadinya dikira sakit biasa, tetapi takdirnya sudah tiba. Pada 4 November 1954 Haji Agus Salim wafat dalam kesederhanaan, tenang dan damai. Haji Agus Salim adalah pahlawan pertama yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Gelar Pahlawan Nasional dianugerahkan Negara di tahun 1961.

Sumber : www.faisalbasri.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kisah Teladan dan Kesederhanaan Haji Agussalim"

Post a Comment